Internasional – Kota New York mencatat sejarah baru dalam politik Amerika Serikat. Zohran Mamdani, politisi muda berusia 34 tahun dari Partai Demokrat, resmi terpilih sebagai Wali Kota Muslim pertama sekaligus termuda dalam sejarah kota tersebut.

Kemenangannya bukan hanya kemenangan politik, tetapi juga simbol perubahan ideologi dan keberagaman di jantung liberal AS, dan kini menjadi awal dari konfrontasi terbuka dengan Presiden Donald Trump.

Mamdani berhasil menumbangkan dua lawan kuat: mantan Gubernur Andrew Cuomo yang maju sebagai independen, serta kandidat Republik Curtis Sliwa.

Dalam perhitungan akhir, ia meraih 50,4% suara, unggul hampir 9% dari Cuomo. Lebih dari dua juta warga memberikan suaranya, tingkat partisipasi tertinggi dalam lima dekade terakhir.

Dalam pidato kemenangannya di Brooklyn, Mamdani tampil penuh semangat.

“Hari ini kita telah berbicara dengan suara yang jelas: harapan masih hidup,” ucapnya di hadapan ribuan pendukung yang bersorak, seperti dikutip dari Kompas.

Suasana malam itu berubah emosional ketika Mamdani melontarkan kalimat yang segera viral di seluruh negeri.

“Donald Trump, karena saya tahu Anda sedang menonton, saya punya empat kata untuk Anda: Turn the volume up (keraskan volumenya)!” tegasnya, disambut riuh tepuk tangan dan teriakan “Zohran! Zohran!” dari massa pendukungnya.

Pidato itu bukan sekadar sindiran; ia adalah pernyataan perang politik terhadap gaya kepemimpinan Trump.

Sepanjang masa kampanye, Trump menuding Mamdani sebagai sosialis radikal yang berbahaya bagi Amerika.

“Saya lebih percaya Cuomo daripada seorang radikal sayap kiri,” ujar Trump dalam wawancara di CBS beberapa hari sebelum pemungutan suara.

Ia bahkan memperingatkan, “Jika kandidat komunis Zohran Mamdani menang, saya akan menahan dana federal untuk New York. Kota ini tidak akan bertahan hidup!”

Namun ancaman itu justru menjadi bahan bakar kemenangan Mamdani. Warga New York menilai intervensi Trump sebagai bentuk arogansi federal terhadap otonomi kota.

Dalam wawancara usai kemenangan, Mamdani menjawab dengan nada tenang namun menusuk.

“Jika ada yang bisa menunjukkan kepada bangsa yang dikhianati Donald Trump cara mengalahkannya, kota itulah yang melahirkannya,” jelasnya mantap.

“Ini bukan hanya cara kita menghentikan Trump. Ini cara kita menghentikan Trump berikutnya,” lanjutnya, menegaskan bahwa perjuangannya melawan ketimpangan dan politik kebencian belum berakhir.

Trump tidak tinggal diam. Melalui Truth Social, ia meluapkan amarahnya dengan huruf kapital.

“TRUMP TIDAK ADA DI SURAT SUARA, DAN PENUTUPAN PEMERINTAH (GOVERNMENT SHUTDOWN) ADALAH DUA ALASAN REPUBLIKAN KALAH DALAM PEMILU MALAM INI!” tulisnya, mencoba menepis kekalahan moral bagi kubunya.

Meski begitu, kemenangan Mamdani dipandang banyak pihak sebagai simbol generasi baru politik Amerika—sebuah gelombang progresif yang berakar pada suara muda, minoritas, dan pekerja.

Lahir di Kampala, Uganda, dari pasangan akademisi Mahmood Mamdani dan sutradara India Mira Nair, Zohran tumbuh di New York sejak kecil dan dikenal sebagai politisi yang peduli pada isu sosial, perumahan, dan kesetaraan.

Kebijakannya mencerminkan visi kota yang inklusif dan berpihak pada rakyat kecil: transportasi publik gratis, penitipan anak gratis, pajak lebih tinggi untuk miliuner, dan pembekuan sewa perumahan.

Ia juga menjanjikan reformasi kepolisian serta pendirian toko milik pemerintah untuk memastikan akses kebutuhan pokok bagi warga berpenghasilan rendah.

Namun di balik agenda progresif itu, Mamdani menghadapi tantangan berat dari Gedung Putih.

Trump telah berulang kali mengancam akan menahan miliaran dolar dana federal bagi New York.

Bagi Mamdani, ancaman tersebut hanyalah ujian pertama.

“Saya akan bekerja sama dengan presiden demi kepentingan warga New York, tapi saya tidak akan tunduk. Jika Anda ingin mempersulit hidup warga New York, maka saya akan berada di sana untuk melawan Anda,” tegas Mamdani menutup konferensi persnya.

Kemenangannya juga dianggap menandai titik balik bagi Partai Demokrat. Setelah bertahun-tahun dianggap kehilangan arah menghadapi populisme Trump, sosok Mamdani muncul sebagai lambang harapan baru, muda, idealis, dan berani menantang status quo.

Kini, New York, kota kelahiran Trump, dipimpin oleh seorang Muslim progresif yang pernah menyebut dirinya “mimpi terburuk Donald Trump.” Dalam satu kalimat yang kini jadi kutipan sejarah, Mamdani menegaskan visinya:

“Kota ini tidak akan tunduk pada ketakutan, tidak pada kebencian, dan tidak pada Trump.”

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *