Nasional – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan larangan bagi anggota Polri aktif untuk menduduki jabatan di instansi sipil kembali mengundang kritik.
Direktur Eksekutif Gogo Bangun Negeri, Emrus Sihombing, menilai putusan tersebut tidak menyentuh persoalan secara menyeluruh dan justru menimbulkan pertanyaan terkait arah reformasi kepolisian pasca-1998.
Emrus menyampaikan pendapatnya dalam keterangan tertulis, Jumat (14/11/2025).
Ia menilai bahwa sejak Polri resmi berpisah dari TNI pada masa reformasi, posisi polisi ditempatkan sebagai bagian dari unsur sipil.
Hal itu, menurutnya, menjadi alasan logis mengapa anggota Polri semestinya dapat mengisi jabatan di kementerian maupun lembaga lain yang juga berstatus sipil.
“Polri setelah reformasi sudah ditempatkan sebagai institusi sipil. Jadi sangat masuk akal jika personel kepolisian dapat bertugas di kementerian yang juga sipil,” ujarnya, seperti dikutip dari IDN Times.
Lebih jauh, Emrus menilai putusan MK tidak menjawab kebutuhan birokrasi modern yang semakin kompleks.
Ia berpendapat bahwa pertukaran kompetensi antara Polri dan kementerian merupakan hal wajar karena kedua institusi sama-sama berada dalam ranah sipil.
“Kalau kementerian itu sipil, dan Polri juga sipil, seharusnya tidak masalah terjadi perpindahan penugasan. Justru yang tak boleh adalah instansi non-sipil masuk ke kementerian sipil,” ungkapnya.
Emrus menilai putusan MK dapat menghambat aliran keahlian antarinstansi yang dibutuhkan dalam berbagai sektor.
Ia mencontohkan, kementerian seperti Pertanian atau Keuangan seharusnya dapat mengirim tenaga ahli ke lingkungan kepolisian jika kompetensinya relevan, terutama dalam bidang pengawasan sektor terkait.
“Pertukaran itu mestinya dimungkinkan. Misalnya ahli pertanian ditempatkan di kepolisian untuk urusan ketahanan pangan, tetap dengan status sipil dan tidak harus menjadi polisi,” jelasnya.
Ia juga mengkritik ketentuan yang mewajibkan anggota Polri untuk mengundurkan diri ketika mendapatkan tugas di kementerian.
Menurutnya, aturan tersebut hanya akan membatasi mobilitas sumber daya manusia dan tidak selaras dengan kebutuhan pemerintahan yang dinamis.
“Tidak perlu ada kewajiban mundur. Pengalihan tugas dari Polri ke kementerian itu seharusnya cukup dipandang sebagai penugasan lintas instansi sesama sipil,” tegasnya.
Emrus juga menyinggung bahwa kompetensi polisi dalam aspek pengawasan dan penegakan hukum justru sangat relevan dengan sejumlah posisi penting di banyak kementerian.
“Unit seperti inspektorat jenderal bekerja melalui mekanisme pengawasan yang dekat dengan proses penegakan hukum. Personel kepolisian sudah terbiasa dengan fungsi tersebut, sehingga penempatannya sangat sesuai,” tuturnya.
Ia menutup pernyataan dengan menekankan perlunya fleksibilitas dalam pengelolaan sumber daya aparatur negara.
“Jangan sampai putusan MK membuat penempatan lintas instansi menjadi terhambat. Polri dan kementerian sama-sama sipil, jadi mobilitas itu semestinya tidak dipersulit,” ujarnya.





