
Internasional – Serangan udara Israel di Gaza pada Minggu (10/08/2025) menewaskan lima jurnalis Al Jazeera, termasuk koresponden senior Anas Al Sharif.
Insiden ini menuai kecaman dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Uni Eropa, dan berbagai organisasi kebebasan pers internasional yang menilai tindakan tersebut sebagai pelanggaran serius hukum humaniter.
Menurut Al Jazeera, korban lainnya adalah koresponden Mohammed Qreiqeh, juru kamera Ibrahim Zaher, Mohammed Noufal, dan Moamen Aliwa. Serangan menghantam tenda liputan yang berdiri di dekat gerbang utama Rumah Sakit Al Shifa, Kota Gaza.
Direktur rumah sakit, Mohammed Abu Salmiya, juga melaporkan tewasnya jurnalis lepas Mohammed Al Khaldi.
Militer Israel mengklaim memiliki dokumen yang menunjukkan bahwa Sharif pernah bergabung dengan Hamas pada 2013, termasuk catatan cedera pada 2017.
Beberapa jurnalis lokal membenarkan bahwa Sharif sempat bekerja di kantor komunikasi Hamas sebelum bergabung dengan Al Jazeera.
Namun, organisasi media dan kelompok hak asasi menilai tuduhan tersebut sering digunakan Israel untuk mendiskreditkan jurnalis tanpa bukti kuat.
Sharif dikenal sebagai salah satu jurnalis paling menonjol di Gaza, yang selama hampir dua tahun terakhir melaporkan intensitas perang dari garis depan.
Dalam sebuah pesan yang ditulis April lalu, ia meminta dunia untuk tidak melupakan Gaza.
Pesan ini kembali mencuat pasca kematiannya, memunculkan tudingan bahwa serangan tersebut merupakan upaya membungkam suara yang mengkritik pendudukan Israel.
Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) mengingatkan bahwa hukum internasional hanya membenarkan serangan terhadap kombatan aktif.
“Kecuali Israel dapat membuktikan bahwa Anas Al Sharif masih kombatan, tidak ada alasan yang sah untuk pembunuhan ini,” tegas Kepala Eksekutif CPJ, Jodie Ginsberg.
Reporters Without Borders mencatat hampir 200 jurnalis tewas sejak konflik dimulai pada Oktober 2023.
Israel juga masih melarang masuknya jurnalis internasional kecuali melalui tur yang diawasi ketat oleh militer.
Serangan ini terjadi hanya beberapa hari setelah kabinet keamanan Israel menyetujui rencana pengerahan pasukan ke Gaza.
Rencana tersebut memicu protes di dalam negeri dan kecaman global.
Jerman menghentikan pengiriman senjata yang berpotensi digunakan di Gaza, sementara Australia bergabung dengan negara-negara Barat lain yang mengakui Palestina sebagai negara.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan niat untuk menguasai wilayah Gaza yang tersisa, termasuk Kota Gaza dan Al-Mawasi.
Namun, langkah ini disebut memicu ketegangan antara pemerintah dan pimpinan militer.
PBB memperingatkan bahwa operasi militer lanjutan berisiko memperburuk krisis kemanusiaan di Gaza.
Badan-badan kemanusiaan sebelumnya telah memperingatkan potensi kelaparan akibat pembatasan ketat terhadap bantuan.