Nasional – Gelombang demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah dalam beberapa hari terakhir semakin memanas dan kerap berujung bentrokan dengan aparat.

Di tengah situasi tersebut, istilah darurat militer kembali ramai diperbincangkan, baik di Indonesia maupun di dunia internasional, apalagi setelah Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol beberapa waktu lalu menetapkan status tersebut di negaranya.

Darurat militer, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah keadaan darurat di mana kewenangan sipil dialihkan kepada militer sebagai pemegang kendali tertinggi sementara.

Aturan ini juga diatur dalam Perppu Nomor 23 Tahun 1959, yang memberikan kewenangan besar kepada penguasa militer untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum ketika pemerintah dianggap tidak mampu menghadapi krisis.

Praktiknya, status ini membuat komandan militer di wilayah tertentu memiliki wewenang luas untuk menyusun strategi, menegakkan hukum, hingga membatasi kebebasan sipil.

Penerapan darurat militer biasanya muncul saat pemerintah menghadapi situasi ekstrem: perang, pemberontakan, kudeta, atau kerusuhan besar yang tidak terkendali.

Namun, dampaknya sangat signifikan. Menurut Robert Lansing Institute, kebijakan ini bisa memicu konsolidasi pemerintahan, tetapi di sisi lain juga memunculkan ketidakpuasan masyarakat, protes besar-besaran, bahkan potensi pemakzulan presiden.

Selain itu, stabilitas domestik dan ekonomi juga bisa terguncang karena aktivitas perdagangan terganggu, investor ragu, dan tingkat pengangguran meningkat.

Sejarah Indonesia sendiri mencatat beberapa kali pemberlakuan darurat militer. Pada 14 Maret 1957, Presiden Soekarno menetapkannya sebagai respons terhadap instabilitas politik dan munculnya pemberontakan daerah.

Kala itu, Angkatan Darat di bawah Jenderal A.H. Nasution diberi kewenangan besar untuk mengendalikan situasi, yang kemudian menguatkan peran militer dalam politik.

Pada 1999, Presiden B.J. Habibie menetapkan darurat militer di Timor Timur pascareferendum yang memicu kekerasan. Status tersebut berlaku sejak 7 September hingga dicabut pada 23 September 1999.

Sementara itu, pada 2003 Presiden Megawati Soekarnoputri memberlakukan darurat militer di Aceh untuk menghadapi Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Langkah tersebut membuat ruang gerak masyarakat sangat terbatas karena operasi militer digencarkan. Baru setelah perjanjian damai Helsinki tahun 2005, Aceh terbebas dari status tersebut.

Meski darurat militer identik dengan kondisi genting, isu ini juga kerap disalahgunakan. Beberapa pakar menilai kebijakan ini kerap menjadi alat bagi pemerintah yang gagal meredam konflik dengan cara sipil.

Tidak heran, setiap kali wacana darurat militer muncul, publik selalu khawatir dengan potensi pembatasan hak-hak dasar.

Saat ini, pemerintah Indonesia menegaskan bahwa tidak ada rencana penerapan darurat militer.

BIN, Polri, hingga Kementerian Kominfo menyebut isu yang beredar di media sosial hanyalah kabar bohong. Masyarakat diminta tetap tenang dan tidak mudah terprovokasi.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *