
Nasional – Mantan Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer atau Noel, akhirnya mengakui kesalahannya terkait perkara dugaan pemerasan dalam proses sertifikasi keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
“Saya mengakui kesalahan saya,” ucap Noel saat tiba di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Selasa (02/09/2025), sebelum menjalani pemeriksaan sebagai tersangka.
Dikutip dari Antara, Noel menyatakan tidak akan menempuh jalur praperadilan atas status tersangka yang ditetapkan oleh KPK.
Ia menegaskan siap bertanggung jawab atas perbuatannya. Namun, sebelumnya pada Jumat (22/08/2025), Noel sempat membantah terlibat kasus pemerasan.
“Kawan-kawan yang bersama saya tidak ada sedikit pun kasus pemerasan, dan apa yang kami lakukan sangat mendukung sekali apa yang menjadi kebijakan KPK,” klaimnya.
Pada hari yang sama, ia juga berharap mendapat pengampunan dari Presiden Prabowo Subianto, meski pada akhirnya jabatannya sebagai Wamenaker dicopot.
“Semoga saya mendapat amnesti dari Presiden Prabowo,” ujar Noel di hadapan awak media di Gedung KPK.
Ketua KPK Setyo Budiyanto menjelaskan bahwa Noel menerima uang suap senilai Rp 3 miliar serta sebuah sepeda motor dalam kasus sertifikasi K3.
“Uang tersebut mengalir ke penyelenggara negara IEG sebesar Rp 3 miliar pada Desember 2024,” kata Budi.
KPK mengungkap, praktik suap ini sudah berlangsung sejak 2019 dan terendus setelah adanya laporan masyarakat.
Secara keseluruhan, total uang yang diduga diterima para tersangka dalam kasus tersebut mencapai Rp 81 miliar.
Uang itu digunakan untuk berbagai kebutuhan pribadi, mulai dari uang muka rumah, pembelian kendaraan, hingga hiburan.
Budi juga menegaskan keterlibatan Noel tidak sekadar sebatas mengetahui, tetapi juga meminta bagian dari hasil pemerasan.
“Dia tahu, membiarkan, bahkan meminta (hasil pemerasan),” ujarnya.
Modus yang dijalankan anak buah Noel adalah membebankan biaya sertifikasi K3 sebesar Rp 6 juta per orang. Padahal, biaya resmi hanya Rp 275 ribu.
Jika tidak membayar, para buruh dipersulit hingga pengurusan sertifikasi mereka ditolak.
Nilai tersebut bahkan dua kali lipat dari rata-rata gaji buruh, sehingga menimbulkan beban berat bagi pekerja.