Internasional – Presiden Kolombia, Gustavo Petro melontarkan kecaman keras terhadap Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Amerika Serikat, dan sekutu-sekutunya dalam pidato berapi-api di hadapan Sidang Majelis Umum PBB, Selasa (23/9/2025) dan Rabu (24/9/2025).

Pidato yang direkam dan beredar viral di media sosial itu menuntut langkah lebih tegas untuk menghentikan apa yang disebutnya sebagai “pembantaian” di Gaza, sekaligus mengusulkan solusi yang kontroversial: pembentukan pasukan internasional untuk melindungi rakyat Palestina.

Petro membuka pidatonya dengan menilai PBB tengah mengalami krisis legitimasi.

Menurutnya, forum internasional itu kerap menjadi tempat berkumpulnya negara-negara yang bersuara tetapi tak berdaya, bahkan berisiko menjadi alat yang justru memungkinkan kekerasan meluas.

“Tempat ini telah menjadi saksi bisu, bahkan kaki tangan genosida yang terjadi di dunia hari ini,” ujar Petro dalam bagian pidato yang kemudian menyebar luas di platform daring pada Rabu (24/9/2025).

Mengutip kegagalan diplomasi dalam mengakhiri kekerasan di Gaza, Petro mendorong Majelis Umum mengambil alih peran bila Dewan Keamanan tak bisa bersikap karena potensi hak veto.

Ia menyatakan, pemungutan suara di Majelis Umum dapat menjadi instrumen yang mengikat untuk mengakhiri kekerasan dan menegakkan perdamaian.

Lebih jauh, Petro mengajukan gagasan radikal: membentuk korps internasional bersenjata—yang beroperasi di bawah mandat PBB atau lewat mekanisme persatuan lain, untuk melindungi warga sipil Palestina.

“Diplomasi telah menunjukkan batasnya. Kini saatnya tindakan yang nyata untuk menyelamatkan nyawa,” kata Petro, menyerukan dukungan negara-negara dan masyarakat sipil di seluruh dunia.

Pidato Petro juga memuat kritik terbuka terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat dan peran beberapa negara Barat.

Ia menuding kebijakan tertentu justru melanggengkan impunitas dan menghambat penegakan keadilan internasional.

Selain itu, ia mengaitkan masalah militer dengan isu lain seperti pengaruh geopolitik dan kebijakan ekonomi global, termasuk kecaman terhadap intervensi militer yang menurutnya dibungkus argumentasi lain, seperti pemberantasan narkoba.

Dalam momen yang sama, Petro menegaskan pula urgensi agenda lain: transisi dari ekonomi berbasis karbon. Ia mengaitkan pembebasan rakyat Palestina dengan rencana besar untuk “dekarbonisasi” ekonomi global, menggambarkan keduanya sebagai bagian dari perjuangan yang lebih luas antara kebebasan dan kekerasan sistemik.

“Setelah menyelamatkan Gaza, kita harus beralih ke rencana mendekarbonisasi ekonomi planet ini,” ucapnya.

Pidato Petro menimbulkan reaksi beragam.

Di satu sisi, banyak pihak menyambut pidato itu sebagai seruan moral yang berani, terutama di kalangan aktivis dan publik yang mengunggah kutipan-kutipan pidato ke media sosial.

Di sisi lain, usulan pembentukan pasukan bersenjata internasional menimbulkan kekhawatiran akan eskalasi militer baru dan pelanggaran kedaulatan negara, sehingga menimbulkan perdebatan tentang praktik dan konsekuensi intervensi semacam itu.

Sikap keras Petro juga datang bersamaan dengan gelombang pengakuan negara Palestina oleh sejumlah negara Barat pada waktu yang hampir bersamaan, sebuah langkah yang menurutnya tidak cukup jika tidak disertai upaya konkret melindungi warga sipil dan menyelesaikan krisis sandera.

Dengan nada tegas, Petro menutup pidatonya: kemanusiaan harus mengambil prioritas, dan komunitas internasional tidak boleh mengizinkan kekerasan berlanjut tanpa konsekuensi.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *