
Nasional – Manila pada 1986 menjadi saksi bagaimana jutaan warga turun ke jalan dengan doa dan aksi damai. Mereka mendesak kejatuhan rezim Ferdinand Marcos, dan hanya dalam empat hari, kekuasaan yang bertahan puluhan tahun akhirnya tumbang.
Fenomena serupa juga muncul di belahan dunia lain. Tahun 2003, rakyat Georgia berhasil menggulingkan Eduard Shevardnadze lewat Revolusi Mawar.
Tanpa senjata, mereka masuk ke gedung parlemen sambil membawa bunga sebagai simbol perlawanan. Pada 2019, aksi protes tanpa kekerasan di Sudan dan Aljazair memaksa dua presiden yang sudah lama berkuasa untuk mundur.
Seperti dikutip dari National Geographic, kisah-kisah ini memperlihatkan bagaimana gerakan damai mampu melawan elit politik dan menghasilkan perubahan besar.
Ilmuwan politik Harvard University, Erica Chenoweth, awalnya ragu bahwa protes tanpa kekerasan lebih efektif dibanding perjuangan bersenjata.
Namun setelah menelaah 323 kampanye dari tahun 1900 hingga 2006 bersama Maria Stephan dari International Center of Nonviolent Conflict (ICNC), hasilnya mengejutkan.
Dalam buku Why Civil Resistance Works, keduanya menemukan bahwa aksi nir-kekerasan berhasil 53%, hampir dua kali lipat dari keberhasilan gerakan bersenjata yang hanya 26%.
Chenoweth menjelaskan bahwa kunci keberhasilan ada pada jumlah peserta. Kampanye damai mampu merangkul berbagai kalangan, dari tua hingga muda.
Rata-rata aksi tanpa kekerasan melibatkan 200 ribu orang, sementara gerakan bersenjata hanya 50 ribu.
“Tidak ada kampanye yang gagal setelah mereka mencapai partisipasi 3,5% dari populasi,” kata Chenoweth. Fenomena ini ia sebut sebagai Rule of 3.5%.
Contoh nyata dapat dilihat pada aksi People Power di Filipina yang mampu menggerakkan sekitar dua juta warga.
Gelombang protes di Brasil pada 1984–1985 juga berhasil melibatkan lebih dari sejuta orang.
Tidak kalah besar, Revolusi Velvet di Cekoslowakia tahun 1989 mencatat partisipasi sekitar 500 ribu peserta yang memenuhi ruang publik untuk menuntut perubahan.
Dengan dukungan sebesar itu, aparat keamanan kerap ragu menindak, sebab ada kemungkinan keluarga atau kerabat mereka turut berada di dalam massa.
Meski demikian, tidak semua aksi damai berhasil. Gerakan di Jerman Timur pada 1950-an, yang melibatkan sekitar 400 ribu orang atau 2% populasi, akhirnya gagal.
Chenoweth menekankan bahwa jalan damai bukanlah jaminan mutlak, namun tetap menjadi strategi paling konsisten untuk melibatkan massa dalam skala besar.
Jika angka ini diterapkan di Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 284 juta jiwa, maka dibutuhkan minimal 9–10 juta orang ikut serta dalam aksi damai agar berpotensi mencapai perubahan nyata.