Nasional – Di ruang perawatan RSCM, tangis keluarga Affan Kurniawan masih bergema ketika Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tiba dengan wajah tertunduk.

Pelukan dan air mata yang ia berikan kepada keluarga korban mungkin tulus, namun bagi ratusan organisasi masyarakat sipil, gestur itu tidak lagi mencukupi. Mereka menuntut sesuatu yang lebih substantif: pengunduran diri.

“Kapolri wajib mundur atau Presiden segera mencopot Sigit Listyo Prabowo sebagai Kapolri yang gagal mengubah watak represif Polri,” demikian bunyi pernyataan tegas koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari YLBHI, ICW, KontraS, dan puluhan organisasi lainnya.

Tuntutan ini bukanlah reaksi emosional semata. Data yang disajikan koalisi menyebutkan bahwa sepanjang Juli 2024 hingga Juni 2025, sebanyak 55 warga meninggal akibat kekerasan aparat. Affan bukan yang pertama, dan tanpa perubahan fundamental, ia mungkin bukan yang terakhir.

Yang menyakitkan adalah pola yang terus berulang: tragedi terjadi, Kapolri meminta maaf, janji investigasi dilontarkan, lalu semuanya berlalu hingga tragedi serupa kembali terjadi.

Seperti sebuah siklus yang tak berujung, di mana permintaan maaf menjadi ritual kosong tanpa konsekuensi nyata.

Kasus Gamma di Semarang, Afif Maulana di Padang, dan kini Affan di Jakarta—semuanya adalah bukti bahwa sistem yang ada telah gagal. Bukan sekadar gagal mencegah, tetapi gagal belajar dari kesalahan.

Di negara-negara dengan tradisi akuntabilitas yang kuat, pemimpin yang gagal mengamankan keselamatan warga berani mengambil tanggung jawab dengan cara yang paling konkret: mengundurkan diri.

Ketika kapal ferry Sewol tenggelam di Korea Selatan pada 2014 dan menewaskan 304 orang, Perdana Menteri Chung Hong-won tidak hanya meminta maaf.

Ia mengundurkan diri dengan pernyataan yang mengharukan: “Jeritan keluarga mereka yang hilang masih membuat saya tidak bisa tidur di malam hari.”

Di Jepang, Perdana Menteri Victor Ponta mengundurkan diri setelah kebakaran nightclub Colectiv menewaskan 32 orang di Romania.

Di Iraq, Menteri Kesehatan Hassan al-Tamimi mundur setelah kebakaran rumah sakit COVID-19 merenggut 82 nyawa.

Bahkan di Taiwan, Menteri Ekonomi Lee Chih-kung mengundurkan diri hanya karena pemadaman listrik massal yang berpotensi membahayakan nyawa.

Mereka memahami bahwa kepemimpinan sejati bukan tentang bertahan di kursi kekuasaan, tetapi tentang keberanian mengakui kegagalan dan mengambil konsekuensi yang pantas.

Polri memiliki motto yang mulia: “Rastra Sewakottama”—abdi utama bangsa.

Namun, ketika kendaraan taktis yang seharusnya melindungi justru menghancurkan kehidupan seorang pemuda yang sedang bekerja keras mencari nafkah, motto itu terasa seperti sindiran yang pahit.

Affan Kurniawan bukanlah demonstran. Ia bukan aktivis yang menentang pemerintah. Ia adalah seorang pekerja muda berusia 20 tahun yang sedang mengantar pesanan pelanggan—sebuah pekerjaan yang halal dan mulia.

Namun, dalam sekejap, kehidupannya terenggut oleh institusi yang seharusnya melindunginya.

Kegagalan ini bukan sekadar kegagalan operasional, tetapi kegagalan fundamental dalam memahami misi utama kepolisian.

Ketika aparat lebih fokus pada efektivitas operasional daripada keselamatan warga sipil, maka telah terjadi distorsi yang sangat berbahaya terhadap hakikat pelayanan publik.

Dalam struktur militer dan kepolisian, ada prinsip fundamental yang disebut “command responsibility”—tanggung jawab komando.

Prinsip ini menyatakan bahwa seorang pemimpin bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukan oleh bawahannya, terutama jika tindakan tersebut merupakan bagian dari operasi yang ia pimpin atau setidaknya ia ketahui.

Ketika tujuh anggota Brimob “diamankan” untuk pemeriksaan internal, pertanyaan yang muncul bukanlah hanya tentang kesalahan individual mereka, tetapi tentang sistem komando yang memungkinkan tragedi ini terjadi.

Siapa yang memberikan perintah? Apa protokol yang digunakan? Di mana mekanisme pengawasan?

Kapolri, sebagai pucuk pimpinan tertinggi, tidak bisa lepas dari tanggung jawab ini.

Bukan karena ia secara langsung memerintahkan penindasan brutal, tetapi karena di bawah kepemimpinannya, budaya represif masih mengakar kuat dalam tubuh Polri.

Ada yang tragis dalam ritual permintaan maaf yang terus berulang tanpa perubahan substansial.

Permintaan maaf menjadi kehilangan makna ketika ia tidak diikuti dengan langkah-langkah konkret untuk memastikan tragedi serupa tidak terulang.

Kapolri telah berkali-kali meminta maaf dalam berbagai kasus serupa.

Namun, 55 korban jiwa dalam setahun terakhir menunjukkan bahwa permintaan maaf tersebut belum diterjemahkan ke dalam perubahan sistemik yang nyata.

Masyarakat sudah lelah dengan ritual permintaan maaf yang kosong. Mereka menuntut akuntabilitas yang nyata, perubahan yang terukur, dan jaminan bahwa tragedi serupa tidak akan terulang.

Thomas Hobbes pernah menulis tentang kontrak sosial antara negara dan warga.

Warga menyerahkan sebagian kebebasan mereka kepada negara dengan imbalan perlindungan dan keamanan. Namun, ketika negara, melalui aparatnya justru menjadi ancaman bagi keselamatan warga, maka kontrak sosial tersebut telah dilanggar.

Affan mempercayai negara. Ia membayar pajak, mematuhi aturan lalu lintas, bekerja dengan jujur.

Namun, negara yang ia percayai justru merenggut nyawanya. Ini bukan hanya tragedi personal, tetapi juga pengkhianatan terhadap kontrak sosial yang fundamental.

Koalisi masyarakat sipil menyebutnya sebagai “kejahatan negara”—sebuah terminologi yang keras namun tepat.

Ketika institusi negara gagal melindungi warganya dan justru menjadi ancaman, maka legitimasi negara tersebut patut dipertanyakan.

Kepemimpinan sejati diukur bukan dari kemampuan bertahan di kursi kekuasaan, tetapi dari keberanian mengambil tanggung jawab ketika terjadi kegagalan.

Seorang pemimpin yang sejati memahami bahwa posisinya bukan privilege, tetapi amanah yang harus dipertanggungjawabkan.

Ketika Perdana Menteri Chung Hong-won mengundurkan diri setelah tragedi Sewol, ia menunjukkan apa yang dimaksud dengan kepemimpinan yang bertanggung jawab.

Ia memilih kehormatan daripada kekuasaan, martabat daripada jabatan.

Tuntutan pengunduran diri Kapolri bukanlah ajakan untuk melarikan diri dari tanggung jawab, tetapi justru bentuk tanggung jawab yang tertinggi.

Dengan mengundurkan diri, ia mengakui bahwa sistem di bawah kepemimpinannya telah gagal dan membutuhkan pemimpin baru dengan visi dan pendekatan yang berbeda.

Sudah bertahun-tahun masyarakat menunggu reformasi sejati dalam tubuh Polri. Reformasi yang tidak hanya mengubah seragam atau logo, tetapi yang mengubah mindset dan budaya institusional secara fundamental.

Namun, 55 korban jiwa dalam setahun terakhir menunjukkan bahwa reformasi tersebut masih sebatas wacana.

Budaya kekerasan, arogansi kekuasaan, dan mentalitas represif masih mengakar kuat.

Mungkin sudah saatnya kita mengakui bahwa reformasi dari dalam tidak cukup.

Dibutuhkan shock therapy berupa pergantian kepemimpinan yang disertai dengan mandate yang jelas untuk melakukan perubahan fundamental.

Tuntutan pengunduran diri Kapolri bukanlah tindakan balas dendam atau politik praktis.

Ini adalah tuntutan moral yang berakar pada keinginan untuk melihat institusi kepolisian yang benar-benar melayani rakyat, bukan menindas mereka.

Affan Kurniawan telah pergi, meninggalkan keluarga dalam duka yang mendalam.

Namun, kematiannya tidak boleh sia-sia. Tragedi ini harus menjadi katalis bagi perubahan yang fundamental, dimulai dari pucuk pimpinan tertinggi.

Kepada Kapolri Listyo Sigit Prabowo, sejarah akan mencatat bagaimana Anda merespons tragedi ini.

Apakah dengan ritual permintaan maaf yang sudah kehilangan makna, atau dengan tindakan berani yang menunjukkan bahwa Anda memahami makna sejati dari tanggung jawab kepemimpinan.

Dan kepada kita semua, mari jangan biarkan kemarahan ini padam begitu saja.

Mari terus menuntut akuntabilitas, transparansi, dan perubahan yang nyata.

Karena hanya dengan cara itulah kita bisa memastikan bahwa tidak ada lagi Affan-Affan lain yang harus menjadi korban dari sistem yang gagal.

Permintaan maaf tanpa konsekuensi nyata hanyalah kata-kata kosong. Akuntabilitas sejati membutuhkan keberanian untuk mengambil tanggung jawab dengan cara yang paling konkret.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *