
Ragam – Fenomena perbedaan kemampuan manusia dalam mengonsumsi makanan pedas telah menjadi topik menarik yang melibatkan berbagai aspek ilmiah, mulai dari genetika hingga psikologi.
Penelitian terbaru mengungkap bahwa toleransi seseorang terhadap rasa pedas dipengaruhi oleh kombinasi kompleks antara faktor biologis, pengalaman hidup, dan bahkan kepribadian individu.
Dosen Departemen Gizi Masyarakat IPB University, Karina Rahmadia Ekawidyani, menjelaskan bahwa setiap orang memiliki batas level pedas yang berbeda-beda.
Perbedaan ini terjadi karena adanya variasi dalam sistem reseptor yang mendeteksi senyawa capsaicin, zat aktif yang memberikan sensasi pedas pada cabai dan makanan pedas lainnya.
Kunci utama dalam memahami perbedaan toleransi pedas terletak pada reseptor yang disebut Transient Receptor Potential Vanilloid 1 (TRPV1).
Capsaicin menstimulasi reseptor TRPV1 yang kemudian mengirimkan sinyal rasa sakit ke otak.
Setiap individu memiliki tingkat toleransi reseptor yang berbeda, bahkan ada orang yang lahir tanpa reseptor ini sehingga tidak merasakan pedas sama sekali.
Penelitian dari University of California pada tahun 2003 menemukan bahwa molekul lipid memainkan peran penting dalam mengendalikan sensasi terbakar.
Tingkat kekuatan molekul lipid yang terikat pada reseptor TRPV1 menentukan seberapa sensitif sel saraf terhadap rasa pedas.
Beberapa orang yang dapat mentolerir rasa pedas mungkin terlahir dengan reseptor TRPV1 yang lebih sedikit, sehingga mereka kurang sensitif terhadap sensasi pedas.
Aspek genetik memiliki peran signifikan dalam menentukan kemampuan seseorang mengonsumsi makanan pedas.
Penelitian dari University of Helsinki yang melibatkan saudara kembar menemukan bahwa sebanyak 18-58% orang yang menyukai makanan pedas memiliki kesamaan genetik.
Genetik berperan dalam menentukan variasi dan jumlah serabut saraf yang berfungsi menerima rangsangan dari rasa pedas.
Studi dari Sensory Evaluation Center, Pennsylvania State University, mengungkapkan bahwa peka atau tidaknya reseptor TRPV1 pada seseorang ditentukan oleh faktor genetik.
Jika orang tua memiliki reseptor TRPV1 yang rendah, kemungkinan besar anak mereka juga akan memiliki reseptor yang rendah, sehingga lebih tahan terhadap makanan pedas.
Meskipun faktor genetik berperan penting, toleransi terhadap makanan pedas dapat ditingkatkan melalui konsumsi yang rutin.
Semakin sering seseorang mengonsumsi makanan pedas, tubuh akan mengembangkan toleransi yang lebih tinggi terhadap capsaicin.
Fenomena ini disebut desensitisasi capsaicin, di mana paparan berulang menyebabkan reseptor menutup dan menghentikan transmisi sinyal rasa pedas ke otak.
Peneliti Nadia Byrnes dari University of California menjelaskan bahwa ketika seseorang terus berusaha menyantap makanan pedas meskipun memiliki toleransi rendah, sensitivitas saraf dalam merasakan sakit akan berkurang.
Hal ini membuat mereka membutuhkan tingkat capsaicin yang lebih tinggi untuk merasakan sensasi terbakar selanjutnya.
Penelitian tahun 2012 mengungkap bahwa orang yang menyukai makanan pedas cenderung memiliki kepribadian pencari sensasi.
Mereka lebih terbuka pada pengalaman baru dan menikmati kegiatan yang menantang, seperti naik roller coaster atau berkendara dengan kecepatan tinggi.
Konsumsi makanan pedas dapat diibaratkan seperti menaiki permainan yang menantang adrenalin, di mana setelah berhasil melewati tantangan tersebut, seseorang akan merasa tertantang untuk mencoba tingkat yang lebih tinggi.
Studi dari Pennsylvania State University juga mengungkap bahwa konsumsi cabai sering dikaitkan dengan karakter yang menyukai tantangan atau sensasi berisiko.
Di beberapa budaya seperti Meksiko, kemampuan makan cabai bahkan identik dengan keberanian dan sifat maskulin.
Faktor lingkungan dan budaya turut berperan dalam membentuk toleransi pedas seseorang.
Di wilayah beriklim panas seperti India, cabai menjadi bagian dari makanan sehari-hari.
Paparan dini dan intens terhadap makanan pedas di masa kecil diyakini dapat membentuk toleransi yang lebih tinggi ketika dewasa.
Selera makanan dalam keluarga sangat mempengaruhi pola makan seseorang.
Jika seseorang terlahir di keluarga dan lingkungan yang menyukai rasa pedas, mereka akan cenderung memilih makanan dengan preferensi rasa yang sama, bahkan hal ini bisa menjadi kebiasaan yang “diturunkan”.
Menariknya, kemampuan seseorang dalam mengonsumsi makanan pedas dapat berubah seiring bertambahnya usia. Dr. Andrew Ong dari Singapore General Hospital menjelaskan bahwa reseptor capsaicin tidak hanya ada di mulut, tetapi juga di perut, usus kecil, usus besar, bahkan anus.
Seiring bertambahnya usia, sensitivitas reseptor-reseptor ini dapat berubah, membuat seseorang menjadi lebih atau kurang toleran terhadap makanan pedas.
Bagi individu yang mengalami perubahan kemampuan merasakan makanan, seperti pasien kanker yang menjalani kemoterapi, makanan pedas dapat menjadi cara untuk tetap menikmati pengalaman bersantap.
Karena sensasi pedas diproses oleh reseptor suhu bukan reseptor rasa, sensasi panasnya tetap dapat dirasakan meskipun kemampuan merasakan rasa lainnya terganggu.
Profesor Stuart Bloom, konsultan gastroenterologi dari London, menekankan bahwa meskipun lidah terasa seperti terbakar saat makan makanan pedas, hal tersebut hanyalah sugesti dan makanan pedas tidak memberikan kerusakan fisik pada sistem pencernaan orang sehat.
Namun, beberapa orang memiliki saluran cerna yang lebih sensitif sehingga makanan pedas dapat memicu masalah pencernaan seperti nyeri, mual, hingga diare.
Fenomena perbedaan kemampuan makan pedas ini menunjukkan kompleksitas interaksi antara faktor biologis, psikologis, dan lingkungan dalam membentuk preferensi makanan manusia.
Penelitian ini tidak hanya memberikan pemahaman ilmiah tentang mekanisme rasa pedas, tetapi juga membuka wawasan tentang bagaimana genetik, pengalaman, dan budaya saling berinteraksi dalam membentuk perilaku makan manusia.