Ragam – Setelah menunggu nyaris satu dekade sejak Now You See Me 2 (2016), para penggemar akhirnya kembali diajak menyaksikan aksi para pesulap kriminal dalam film terbaru Now You See Me: Now You Don’t yang mulai tayang di bioskop Indonesia pada Rabu (12/11/2025).
Disutradarai Ruben Fleischer, film ketiga ini mencoba menggabungkan energi lama The Four Horsemen dengan darah baru dari generasi ilusionis yang lebih muda.
Kisahnya dibuka dengan suasana seolah The Four Horsemen kembali menguasai panggung: Atlas, Merritt, Jack, dan Henley seakan menjalankan aksi klasik ala “Robin Hood”, merampok orang-orang kaya yang licik untuk kemudian mengembalikan kekayaan pada publik.
Namun publik dikejutkan dengan fakta bahwa pertunjukan tersebut sebenarnya digerakkan oleh tiga pesulap muda: Charlie, June, dan Bosco.
Mereka bertiga mengidolakan The Horsemen dan memanfaatkan kosongnya panggung untuk mencuri perhatian dunia.
Euforia mereka tak berlangsung lama, karena sosok Atlas asli tiba-tiba muncul di depan mata dan membawa kabar bahwa The Eye punya misi baru untuk mereka: terbang ke Eropa dan mencuri berlian legendaris milik pebisnis licik Veronika Vanderberg, yang memakai berlian tersebut sebagai alat pencucian uang jaringan kriminal.
Dari sini, film bergerak ke pola khas waralaba Now You See Me: rencana perampokan rumit, sistem keamanan berlapis yang tampaknya mustahil ditembus, dan ancaman lain yang datang dari sosok misterius yang juga mengincar berlian sekaligus memegang rahasia masa lalu Veronika.
Satu per satu trik dibuka, berbagai lapis ilusi diputar, dan pada akhirnya para pesulap, lama dan baru, harus menyadari bahwa mereka semua hanyalah pion dalam permainan lebih besar yang dirancang The Eye.
Di sisi lain, kehadiran trio pesulap Gen Z memberi dinamika baru yang cukup menyenangkan.
Interaksi mereka dengan para Horsemen generasi awal menghadirkan benturan gaya antara pesulap “lama” yang mengandalkan pesona panggung dan ilusi praktis, dengan pesulap muda yang lihai bermain trik digital, puzzle ala escape room, dan referensi budaya pop kekinian.
Humor ringan, dialog cepat, dan celetukan kecil di antara mereka membuat film ini terasa seperti pertemuan lintas generasi yang cukup hangat, meski kadang sedikit terlalu ramai.
Beberapa momen fan service juga jelas ditujukan untuk penonton setia.
Kembalinya Henley, renungan kecil soal sejarah The Horsemen, dan kejutan terkait formasi baru di pertengahan film menjadi bagian yang akan membuat penggemar lama tersenyum.
Rosamund Pike sebagai Veronika Vanderberg tampil mencolok sebagai antagonis elegan yang licin dan penuh topeng; senyumnya ramah, tetapi di balik itu tersimpan ambisi dan kekejaman yang pelan-pelan terkelupas.
Meski begitu, film ini tidak bebas dari catatan. Dengan begitu banyak karakter yang harus berbicara, cukup sering dialog terasa seperti tumpukan penjelasan demi penjelasan.
Alih-alih membiarkan hubungan antar tokoh berkembang secara organik, beberapa percakapan terasa hanya menjadi sarana memaparkan rencana, aturan, atau latar belakang.
Ada saat-saat ketika penonton seperti diajak mendengar “ceramah strategi” alih-alih menyaksikan percakapan natural.
Dari segi trik, Now You See Me: Now You Don’t tetap memamerkan rangkaian ilusi besar, pencurian berlian, pelarian dari kejaran aparat, hingga twist akhir yang memutar sudut pandang penonton.
Namun, banyak adegan terasa jelas ditopang oleh CGI dan trik kamera, sehingga sensasi “sulap beneran” sedikit berkurang dibanding film pertama dan kedua. Kita masih terhibur, tapi rasa “bagaimana caranya itu bisa dilakukan di dunia nyata?” tidak sekuat dulu.
Sebagai penulis yang juga menonton langsung, saya merasa film ini masih menyenangkan, tetapi belum mampu menyaingi kekuatan Now You See Me 2 (2016), terutama adegan ikonik permainan kartu di tengah hujan yang sampai sekarang masih melekat di ingatan.
Now You See Me: Now You Don’t tetap memberikan nuansa layaknya menonton pertunjukan sulap panggung, kita tahu sebagian besar triknya dibantu teknologi, tapi tetap saja seru melihat bagaimana mereka menipu penjahat sekaligus penonton. Hanya saja, sensasi kagumnya tidak sedalam sebelumnya.
Di sisi positif, film ini berhasil menunjukkan bahwa waralaba Now You See Me masih punya ruang untuk dikembangkan, terutama jika benar-benar serius memanfaatkan generasi baru sebagai penerus The Horsemen.
Akhir film dengan berbagai “undangan” dan formasi baru jelas memberi sinyal bahwa ini bukan penampilan terakhir mereka.
Sebuah babak baru rasanya mulai dibuka, meski perlu lebih banyak trik yang terasa nyata dan ikonik jika ingin benar-benar melampaui reputasi dua film pendahulunya.







