
Internasional – Gelombang demonstrasi besar melanda Nepal setelah pemerintah memberlakukan larangan terhadap 26 platform media sosial populer, termasuk Facebook, Instagram, X, dan YouTube.
Kebijakan itu awalnya dimaksudkan sebagai langkah regulasi, namun justru menyulut kemarahan publik, terutama kalangan muda, hingga berujung kerusuhan.
Menurut laporan BBC pada Senin (08/09/2025), aksi protes bermula di Kathmandu dan segera menyebar ke berbagai kota seperti Pokhara, Butwal, dan Birgunj.
Ribuan orang yang menyebut diri mereka sebagai Generasi Z menuntut pencabutan larangan sekaligus mengakhiri praktik korupsi yang dianggap merajalela di pemerintahan.
Aksi yang awalnya damai berubah menjadi kekerasan. Polisi menggunakan gas air mata, pentungan, meriam air, hingga peluru karet untuk membubarkan massa.
Namun, saksi mata menyebut sejumlah tembakan berisi peluru tajam.
“Kami berada di sana untuk aksi damai, tapi pemerintah menggunakan kekerasan,” dikutip dari BBC seorang demonstran muda bernama Iman Magar.
Hingga Rabu (10/09/2025), total korban meninggal mencapai 22 orang dengan lebih dari 500 orang terluka, termasuk ratusan aparat keamanan.
Kerusuhan juga merembet ke simbol-simbol negara. Gedung parlemen Nepal dibobol paksa lalu dibakar, begitu pula markas besar Partai Kongres Nepal.
Sejumlah rumah pejabat menjadi sasaran amuk massa, termasuk kediaman pribadi Perdana Menteri KP Sharma Oli, Presiden Ram Chandra Poudel, serta beberapa mantan perdana menteri lain.
Insiden tragis menimpa Rajyalaxmi Chitrakar, istri mantan PM Jhala Nath Khanal. Mengutip Newsweek yang dilansir CNBC Indonesia, ia tewas terbakar ketika massa menyerang rumahnya di Kathmandu.
“Menurut sumber keluarga, Chitrakar berada di dalam rumah saat pendemo membakar gedung itu. Ia sempat dilarikan ke RS Kirtipur Burn dalam kondisi kritis tetapi akhirnya meninggal,” dikutip dari ANI oleh Times of India.
Situasi yang semakin memanas memaksa sejumlah pejabat tinggi meletakkan jabatan. Reuters melaporkan, Perdana Menteri KP Sharma Oli mengajukan surat pengunduran diri pada Selasa (09/09/2025) malam.
“Saya mundur demi membuka jalan menuju solusi politik dan konstitusional,” ucap Oli seperti dikutip dari BBC.
Tidak hanya Oli, Presiden Nepal Ram Chandra Poudel juga mundur dari jabatannya.
“Demi menjaga persatuan bangsa, saya memilih mundur. Negara tidak boleh terjerembab dalam konflik yang memecah belah,” ujar Poudel.
Beberapa menteri kunci seperti Menteri Dalam Negeri Ramesh Lekhak, Menteri Pertanian Ramnath Adhikari, dan Menteri Penyediaan Air Pradeep Yadav turut mengundurkan diri.
Demonstrasi kali ini berbeda dari sebelumnya di Nepal. Gerakan dipelopori anak-anak muda dan pelajar, dengan media sosial menjadi medium utama mobilisasi sebelum diblokir pemerintah.
Istilah Gen Z menjadi identitas kolektif, sementara slogan #NepoBaby dan #NepoKids yang menyoroti gaya hidup mewah keluarga pejabat semakin memicu amarah publik.
Bahkan, fenomena unik terjadi ketika bendera bajak laut One Piece berkibar di depan gedung parlemen.
Jolly Roger kru Topi Jerami dianggap mewakili semangat kebebasan dan melawan otoritas, simbol yang kini menemukan relevansi dalam aksi jalanan Nepal.
Analis politik Ashish Pradhan kepada media lokal mengatakan, “Transisi pemerintahan harus segera diatur dengan melibatkan tokoh yang dipercaya generasi muda.”
Meski larangan media sosial akhirnya dicabut, kemarahan rakyat yang dipicu ketidakadilan sosial dan korupsi membuat krisis politik Nepal belum menunjukkan tanda akan segera reda.