Nasional – Dewan Pakar Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), Prof Henri Subiakto menegaskan bahwa Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) merupakan konsekuensi logis dari perkembangan teknologi digital yang memunculkan bentuk komunikasi baru di masyarakat.
Pernyataan tersebut disampaikan Prof Henri dalam Dialog Nasional bertema “Media Baru vs UU ITE” yang diselenggarakan SMSI Pusat secara daring melalui platform Zoom Meeting, Selasa (28/10/2025).
Kegiatan ini digelar dalam rangka menyongsong peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2026.
Menurutnya, kemajuan teknologi informasi telah melahirkan berbagai aktivitas berbasis internet yang menimbulkan perbuatan hukum baru, sehingga perlu adanya dasar pengaturan.
“Transaksi dan aktivitas baru berbasis internet menimbulkan perbuatan hukum baru yang perlu diatur. Karena itu, UU ITE menjadi penting,” ujar Prof Henri.
Ia menjelaskan, jumlah pengguna internet di Indonesia kini telah mencapai sekitar 191 juta orang, sementara pengguna media sosial seperti Facebook, WhatsApp, dan X (Twitter) mencapai lebih dari 224 juta akun aktif.
Dengan skala pengguna sebesar itu, UU ITE menjadi salah satu regulasi yang paling sering digunakan dalam berbagai kasus hukum di Indonesia.
Namun, Prof Henri menyoroti penerapan UU ITE yang kerap menimbulkan masalah, terutama ketika digunakan untuk menjerat karya jurnalistik maupun opini publik yang disampaikan melalui media.
“Wartawan dan media bekerja dalam koridor Undang-Undang Pers. Mereka tidak bisa diperlakukan sama dengan pengguna media sosial biasa. Sayangnya, masih sering terjadi salah tafsir dalam penerapan UU ITE terhadap produk jurnalistik,” jelasnya.
Lebih lanjut, Prof Henri menilai bahwa di era digital saat ini, media baru seperti podcast dan portal daring berkembang pesat karena kemudahan akses dan rendahnya biaya produksi.
“Podcast itu menarik karena mudah diakses dan dibuat. Biayanya murah, sehingga lebih independen dari tekanan iklan atau sponsor,” paparnya.
Kendati demikian, ia mengingatkan bahwa media baru tetap harus memegang prinsip jurnalisme dan kode etik pers, termasuk dalam hal verifikasi fakta serta menjaga objektivitas pemberitaan.
“Podcast dan media daring memang berbeda format, tapi secara fungsi sama-sama menyampaikan informasi kepada publik. Hanya saja, banyak yang belum diakui secara resmi oleh Dewan Pers,” tuturnya.
Prof Henri juga menyoroti masih maraknya kriminalisasi terhadap jurnalis dengan menggunakan UU ITE, terutama ketika karya jurnalistik menyentuh isu-isu sensitif seperti korupsi atau kritik terhadap pejabat publik.
“Sekarang banyak orang yang kerjanya lapor. Sedikit berbeda pendapat, langsung dilaporkan dengan UU ITE. Ini yang menakutkan,” tegasnya.
Menutup paparannya, Prof Henri mendorong SMSI untuk berperan aktif dalam mengawal revisi UU ITE agar penerapannya tidak mengekang kebebasan pers maupun kebebasan berpendapat.
“SMSI perlu mengambil peran untuk memastikan UU ITE tidak menjadi alat pembungkam, tetapi tetap mengedepankan semangat kebangsaan dan kebaikan bagi bangsa,” tutupnya.





