Kriminal – Putusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat terhadap mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), Ira Puspadewi, terus memicu diskusi luas.
Pada Kamis (20/11/2025), Ira dijatuhi hukuman penjara 4 tahun 6 bulan serta denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan dalam perkara dugaan korupsi kerja sama usaha dan akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) periode 2019–2022.
Hukuman itu jauh lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang sebelumnya meminta pidana 8 tahun 6 bulan penjara.
Dua terdakwa lain, Direktur Komersial dan Pelayanan PT ASDP, Muhammad Yusuf Hadi, serta Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT ASDP, Harry Muhammad Adhi Caksono, masing-masing divonis 4 tahun penjara dan denda Rp250 juta subsider 3 bulan kurungan.
Majelis menyatakan para terdakwa terbukti melanggar Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu menyalahgunakan kewenangan yang dapat merugikan keuangan negara.
Namun, di saat yang sama, majelis juga menegaskan bahwa tak ada keuntungan pribadi yang mengalir ke para terdakwa.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyoroti bahwa Ira dan dua koleganya tidak terbukti memperkaya diri. Hal itu terang disebutkan di ruang sidang Tipikor Jakarta.
“Hal meringankan: Para terdakwa terbukti tidak menerima keuntungan finansial,” ujar hakim anggota Nur Sari Baktiana, Kamis (20/11), seperti dikutip dari CNN.
Hakim menyatakan tidak ditemukan fakta hukum yang menunjukkan Ira, Yusuf Hadi, maupun Harry menerima uang atau fasilitas khusus terkait KSU dan akuisisi PT JN.
Keterangan pemilik PT JN, Adjie, yang mengaku tidak pernah memberikan uang maupun barang kepada para terdakwa ikut memperkuat poin tersebut.
Meski demikian, majelis menilai akuisisi tersebut telah memberikan keuntungan yang besar bagi PT JN dan pemiliknya serta membebani PT ASDP dengan utang dan kewajiban signifikan.
Perbuatan itu dipandang memenuhi unsur “menguntungkan orang lain atau korporasi” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU Tipikor.
Hakim juga menilai perbuatan para terdakwa lebih sebagai kelalaian berat dalam tata kelola aksi korporasi, bukan niat murni untuk melakukan korupsi.
Pertimbangan inilah yang membuat vonis turun jauh dibanding tuntutan jaksa, sekaligus menjadi salah satu sumber polemik di ruang publik.
Di sisi lain, KPK menyambut baik vonis tersebut. Lembaga antirasuah itu memandang putusan hakim sebagai bentuk pengakuan bahwa keputusan akuisisi PT JN telah keluar dari prinsip kehati-hatian.
“KPK menyampaikan apresiasi dan menyambut positif putusan majelis hakim yang menyatakan terdakwa Saudara IP selaku mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry, terbukti bersalah dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi terkait akuisisi PT JN oleh PT ASDP,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (21/11/2025), dilansir dari Investor.id.
Budi menjelaskan, Ira dinilai mengkondisikan proses penilaian kapal yang diakuisisi sehingga keputusan korporasi yang diambil tidak lagi murni profesional dan objektif. Penyimpangan itu, menurut KPK, bertentangan dengan prinsip Business Judgment Rule (BJR) yang seharusnya menjadi landasan direksi dalam mengambil keputusan strategis di BUMN.
“Dalam konteks tata kelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN), penyimpangan ini pada akhirnya meningkatkan risiko kerugian keuangan negara,” tandas Budi.
KPK menilai proses penegakan hukum dalam kasus ini sudah berjalan akuntabel, mulai dari penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan, dan telah dua kali diuji lewat pra-peradilan yang hasilnya menguatkan langkah KPK.
Salah satu sorotan dalam perkara ini adalah kualitas aset yang diambil alih. Dalam persidangan terungkap bahwa sebagian kapal PT JN yang diakuisisi berusia tua dan membutuhkan biaya perawatan besar, sehingga berpotensi menjadi beban jangka panjang bagi keuangan ASDP.
Akuisisi bukan hanya menyangkut pembelian kapal, tetapi juga pengambilalihan kewajiban utang perusahaan, yang otomatis menambah risiko finansial bagi BUMN penyeberangan tersebut.
KPK bahkan menyebut potensi kerugian negara dalam perkara ini bisa mencapai lebih dari Rp1 triliun, antara lain akibat dugaan penyimpangan dalam proses valuasi dan due diligence sebelum akuisisi.
Di sisi lain, tim manajemen ASDP di bawah Ira bersikukuh bahwa penilaian perusahaan dilakukan oleh konsultan profesional dan bersertifikat, dan keputusan akuisisi diambil untuk memperkuat model bisnis ASDP.
Kasus ini menjadi semakin disorot karena menyangkut sosok Ira Puspadewi, figur yang selama ini dikenal memiliki rekam jejak panjang di dunia korporasi, baik di dalam maupun luar negeri.
Ira merupakan lulusan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya yang kemudian melanjutkan studi ke Asian Institute of Management di Filipina dan meraih gelar Master Development Management. Ia juga menyelesaikan program doktoral di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia pada 2018.
Sebelum pulang ke Indonesia, Ira bekerja lebih dari 17 tahun di perusahaan global GAP Inc dan Banana Republic, hingga menjabat Direktur Global Initiative Regional Asia.
Ia kemudian diminta kembali ke Tanah Air dan dipercaya menjadi Direktur Utama PT Sarinah (Persero), lalu menjabat Direktur Ritel, Jaringan, dan SDM di PT Pos Indonesia (Persero).
Kariernya mencapai puncak ketika ditunjuk memimpin PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) sejak 2017 hingga 2024.
Di bawah kepemimpinannya, ASDP kerap disebut berhasil mencatat kinerja laba yang melonjak dan mengembangkan layanan penyeberangan di ratusan lintasan, termasuk ke daerah-daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Suara lain dalam polemik ini datang dari surat pribadi yang ditulis Ira kepada konten kreator Ferry Irwandi, lalu dibacakan dalam sebuah tayangan vlog.
Dalam surat yang dibacakan tersebut, Ira menegaskan bahwa dirinya tidak pernah menerima aliran dana dari proses akuisisi PT JN dan menekankan motif bisnis di balik keputusan itu.
Dalam salah satu bagian surat, Ira menulis:
“Jawaban pendek saya adalah: Agar portofolio komersial ASDP makin kuat untuk subsidi silang bagi 200-an lebih daerah terpencil.”
Ia menjelaskan, ASDP melayani ratusan lintasan, sekitar dua pertiganya berada di wilayah 3T yang secara bisnis selalu rugi sehingga memerlukan subsidi silang dari lintasan komersial.
Akuisisi PT JN dengan 53 kapal dan izin trayek komersial disebut Ira sebagai bagian dari strategi memperkuat sisi komersial agar subsidi itu bisa terus berjalan.
Ira juga menyentil moratorium izin trayek yang membuat pembelian kapal baru menjadi tidak efektif tanpa izin operasi. Menurutnya, akuisisi perusahaan yang sudah memiliki izin lintasan menjadi opsi yang dipandang paling realistis.
Di bagian lain surat, ia menyampaikan kekecewaannya atas proses hukum yang ia nilai mengkriminalisasi kebijakan bisnis:
“Di luar tentang saya pribadi, sedih sekali jika terobosan untuk melayani masyarakat lebih baik justru dikriminalisasi.”
Surat itu ditutup dengan salam hangat dari Rutan KPK, menggambarkan sisi personal dari seorang mantan bos BUMN yang kini menjalani hari-harinya sebagai terpidana.
Ferry Irwandi, yang membacakan surat tersebut, tak menyembunyikan keprihatinannya terhadap putusan pengadilan.
Ia menilai kasus ini bisa menciptakan efek jera bagi para profesional yang diminta mengelola BUMN dan kebijakan publik.
Dalam videonya, Ferry menyebut persoalan utama bukan pada ketegasan pemberantasan korupsi, tetapi pada cara menetapkan kerugian negara dan batas antara kesalahan bisnis dengan tindak pidana.
“Makanya, ini sangat-sangat tidak adil untuk Bu Ira Puspadewi,” ujar Ferry.
Ia menilai, jika setiap keputusan bisnis berisiko tinggi yang kemudian dinilai merugikan negara bisa langsung dikategorikan korupsi, maka banyak proyek negara yang sejatinya penuh ketidakpastian juga berpotensi dipidanakan dengan pola yang sama.
Hal itu, menurutnya, berbahaya bagi iklim pengelolaan BUMN dan keberanian mengambil keputusan strategis.
Kontroversi kian menguat karena dalam perkara ini terdapat dissenting opinion di tubuh majelis hakim.
Ketua majelis, Sunoto, dalam pendapat berbeda menilai seharusnya Ira dan kawan-kawan dilepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle recht vervolging).
Ia memandang kasus KSU dan akuisisi PT JN oleh PT ASDP lebih tepat diselesaikan melalui jalur perdata dan berada dalam ranah Business Judgment Rule, bukan pidana korupsi.
Bagi Sunoto, apa yang terjadi adalah konsekuensi keputusan bisnis yang kelak bisa dinilai benar atau salah oleh waktu, bukan serta-merta tindakan memperkaya diri atau merugikan negara secara kriminal.
Perbedaan pandangan di antara hakim ini semakin menonjolkan betapa tipis dan rumitnya garis batas antara risiko bisnis dan tindak pidana korupsi ketika menyangkut kebijakan korporasi BUMN.
Kasus Ira Puspadewi kini bukan sekadar perkara individu, tetapi telah menjadi contoh konkret perdebatan besar: sejauh mana negara harus menarik garis antara kewajiban menjaga keuangan publik dan perlindungan bagi pengambil keputusan bisnis yang bertindak dalam itikad baik.
KPK menegaskan komitmennya untuk melindungi keuangan negara dan memastikan BUMN dikelola secara sehat, transparan, dan akuntabel.
Di sisi lain, pendukung Ira dan sebagian pengamat mengkhawatirkan bahwa vonis ini akan membuat para profesional berpikir dua kali sebelum menerima mandat mengurus BUMN atau mengambil langkah terobosan yang bersifat high risk.
Ira sendiri masih memiliki ruang hukum untuk menempuh upaya lanjutan seperti banding.
Apapun hasilnya nanti, kasus ini hampir pasti akan terus dirujuk dalam diskusi tentang penegakan hukum korupsi, tata kelola BUMN, dan penerapan Business Judgment Rule di Indonesia.

















