
Nasional – Hari ini, bangsa Indonesia terbangun dengan luka yang menganga di dadanya.
Sehari setelah Ketua DPR RI menyampaikan permintaan maaf yang terlambat, jejak darah Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang tewas tertindas kendaraan taktis Brimob, masih membekas di aspal Jakarta.
Permintaan maaf itu bergema hampa di tengah amarah rakyat yang sudah terlanjur meluap, seolah kata-kata dapat menghapus nyawa yang telah melayang.
“Atas nama seluruh anggota dan pimpinan DPR RI, kami meminta maaf apabila belum sepenuhnya dapat menjalankan tugas kami sebagai wakil rakyat,” demikian bunyi pernyataan yang disampaikan dengan nada formal, kaku, tanpa menunjukkan empati sejati terhadap penderitaan rakyat yang diwakilinya.
Namun, apakah permintaan maaf ini cukup? Apakah kata-kata dapat menyembuhkan luka yang sudah menganga begitu dalam?
Sebelum tragedi 28 Agustus itu terjadi, amarah sudah mengendap di hati rakyat.
Said Iqbal, Presiden Partai Buruh, dengan suara bergetar menggambarkan betapa sakitnya hati kaum pekerja melihat ketimpangan yang tak berperikemanusiaan.
Bayangkan, seorang buruh dengan gaji rata-rata Rp3,5 juta per bulan harus menerima kenyataan bahwa wakil mereka di DPR meraup Rp104 juta setiap bulannya, 30 kali lipat dari jerih payah mereka.
“Sakitnya hati buruh, untuk naik gaji Rp200.000, sampai turun ke jalan,” ujar Said dengan mata berkaca-kaca. Rp200.000, jumlah yang bahkan tak cukup untuk sekali makan di hotel mewah bintang lima, namun harus diperjuangkan dengan tetes keringat dan bahkan nyawa.
Lebih menyakitkan lagi, penelitian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mengungkap bahwa gaji anggota DPR sebenarnya bisa mencapai Rp230 juta per bulan, 42 kali lipat UMP DKI Jakarta, dan 105 kali lipat upah minimum di daerah termiskin seperti Banjarnegara.
Angka yang membuat hati rakyat mencelos, menyadari betapa jauhnya jarak antara mereka yang memilih dengan mereka yang dipilih.
Di tengah penderitaan rakyat, justru muncul kata-kata yang semakin melukai. Ahmad Sahroni, Wakil Ketua Komisi III DPR RI, dengan enteng menyebut rakyat yang menuntut pembubaran DPR sebagai “orang tolol sedunia”.
Kata-kata itu bukan sekadar salah ucap—ia adalah cerminan arogansi yang sudah mengakar, menunjukkan betapa jauhnya para wakil rakyat dari realitas yang dihadapi konstituennya.
“Mental manusia yang begitu adalah mental orang tertolol sedunia,” ucapnya tanpa menyadari bahwa kata-kata itu akan menjadi bumerang yang menghancurkan kepercayaan publik.
Ucapan yang keluar dari mulut seorang yang digaji dari pajak rakyat, yang hidup mewah dari keringat orang-orang yang disebutnya “tolol.”
Tak hanya Sahroni, sikap merendahkan juga ditunjukkan oleh Eko Patrio dan Uya Kuya yang berjoget riang di gedung parlemen setelah sidang paripurna.
Di saat rakyat menjerit karena beban hidup, mereka malah berjoget seolah merayakan kemewahan yang mereka nikmati. Bahkan lebih menyakitkan, mereka menjadikan momen itu sebagai konten media sosial, seolah menantang kritik rakyat yang sudah muak.
Data kemewahan para anggota DPR semakin menambah bara amarah di dada rakyat.
Eko Patrio, si komedian yang kini menjadi wakil rakyat, memiliki harta kekayaan Rp131,52 miliar.
Deretan mobil mewah memenuhi garasinya, dari Toyota Alphard, Jeep Rubicon, hingga Lexus, sementara rakyat berjuang untuk sekadar membeli motor bekas demi mencari nafkah.
Lebih ironis lagi, tunjangan rumah Rp50 juta per bulan yang diterima setiap anggota DPR.
Dalam setahun, negara harus menggelontorkan Rp348 miliar hanya untuk tunjangan ini, uang yang bisa digunakan untuk membangun ribuan rumah layak bagi rakyat miskin.
Namun, para wakil rakyat dengan mudahnya menerima tunjangan itu, bahkan ada yang membela dengan alasan “terjebak macet dari Bintaro ke Senayan.”
Puncak dari semua ketidakadilan ini adalah gugurnya Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang hanya ingin menyuarakan aspirasinya. Nyawanya melayang tertindas kendaraan taktis yang dibeli dengan uang pajak, pajak yang juga ia bayar dari hasil keringatnya mengantar penumpang.
Ferry Irwandi, seorang konten kreator, dengan hati yang teriris menulis, “Ingat Ahmad Sahroni, mulut sampah anda punya andil besar dari semua rangkaian duka ini. Nyawa melayang, korban terluka, dan keluarga ditinggalkan.”
Jerome Polin, seorang youtuber juga menuliskan, “Wakil rakyat yang harusnya mendengarkan keluhan rakyat malah WFH di hari demo. Malah ngatain rakyat ‘tolol’. Malah semena-mena. Ironis, sedih sekali,”.
Lucius Karus dari Formappi dengan sedih menyatakan, “DPR nyaris tidak melihat rakyat lagi karena memilih satu jalan dengan pemerintah,” .
Loyalitas buta kepada penguasa telah membutakan mata mereka terhadap penderitaan rakyat.
Ketika kementerian dan lembaga lain dipaksa berhemat, hanya DPR yang masih bisa tertawa karena anggaran mereka tetap mengucur deras.
Herdiansyah Hamzah ‘Castro’ dari CALS dengan nada putus asa bertanya, “Bagaimana mungkin anggota-anggota DPR tiba-tiba meminta tunjangan lain? Itu kan sudah menjadi hal yang sangat memalukan.”
Dia mengingatkan konsep keterwakilan yang sebenarnya—DPR harusnya adalah pelayan, bukan tuan yang hidup mewah dari pajak rakyat.
Hari ini, saat bangsa merenungi tragedi yang terjadi, pertanyaan besar menggantung di udara: akankah permintaan maaf yang terlambat itu dapat menyembuhkan luka yang menganga? Akankah para wakil rakyat benar-benar berubah, atau hanya menunggu badai berlalu untuk kembali ke perilaku lama?
Denny Sumargo dengan nada sinis berkata, “Lanjutin (joget) aja lanjutin. Lanjutin yang terbaik,” seolah pasrah melihat arogansi yang tak kunjung berubah. Sementara rakyat terus berteriak meminta keadilan, para wakilnya masih asyik berjoget di istana gading mereka.
Kematian Affan Kurniawan bukan sekadar statistik korban demonstrasi.
Dia adalah simbolisasi rakyat kecil yang terpinggirkan, yang suaranya dibungkam oleh arogansi kekuasaan.
Dia adalah cerminan jutaan rakyat Indonesia yang berjuang setiap hari, hanya untuk mendapat perlakuan yang layak dari para wakilnya.
Di tengah kegelapan ini, masih tersisa secercah harapan. Harapan bahwa tragedi ini akan menjadi titik balik, bahwa darah Affan tidak akan sia-sia.
Harapan bahwa para wakil rakyat akan sadar dari mimpi buruk kemewahan mereka dan kembali kepada tugas sejati mereka, melayani rakyat.
Namun, harapan itu terasa rapuh ketika melihat rekam jejak mereka.
Berapa banyak lagi nyawa yang harus melayang? Berapa banyak lagi air mata yang harus tertumpah? Berapa banyak lagi jeritan yang harus diabaikan?
Hari ini, bangsa Indonesia berduka. Bukan hanya untuk Affan Kurniawan, tetapi juga untuk demokrasi yang terluka, untuk kepercayaan yang hancur, untuk harapan yang sirna.
Permintaan maaf telah disampaikan, tetapi luka di hati rakyat masih menganga. Dan hingga para wakil rakyat benar-benar turun dari menara gading mereka, luka itu akan terus berdarah, mengingatkan kita semua akan harga mahal dari arogansi kekuasaan.