Nasional – Bangsa Indonesia tengah mengalami momentum bersejarah. Gelombang demonstrasi yang dimulai dari Jakarta dan merambah ke berbagai kota menunjukkan bahwa semangat kritis masyarakat masih menyala.

Tuntutan akan transparansi, akuntabilitas, dan keadilan bergema di setiap sudut negeri. Namun, di tengah perjuangan yang mulia ini, muncul fenomena yang sangat memprihatinkan: aksi penjarahan dan perusakan fasilitas umum yang justru melukai esensi dari perjuangan itu sendiri.

Betapa ironisnya ketika perjuangan untuk keadilan sosial justru berujung pada ketidakadilan baru.

Gedung DPRD di Jepara, Kediri, Makassar, dan Sulawesi Selatan yang dibakar; halte TransJakarta yang hancur; rumah-rumah pejabat yang dijarah—semua ini bukan lagi cerminan dari aspirasi rakyat yang terorganisir, melainkan tindakan destruktif yang merugikan masyarakat luas.

Ketika fasilitas umum dirusak, siapa yang merugi? Bukan para pejabat yang tengah dikritik, melainkan rakyat biasa yang setiap hari mengandalkan fasilitas tersebut.

Pekerja yang mengandalkan halte TransJakarta untuk berangkat kerja, siswa yang menggunakan transportasi umum untuk bersekolah, dan ribuan warga yang membutuhkan pelayanan publik—merekalah yang sesungguhnya menjadi korban dari aksi destruktif ini.

Setiap rupiah yang akan digunakan untuk memperbaiki kerusakan adalah uang rakyat. Anggaran negara yang seharusnya bisa dialokasikan untuk program-program pembangunan kini harus tersedot untuk menambal kerusakan yang sebenarnya bisa dihindari.

Bukankah ini bertentangan dengan semangat menuntut efisiensi penggunaan anggaran negara yang menjadi salah satu isu utama demonstrasi?

Data menunjukkan bahwa biaya perbaikan fasilitas umum yang rusak bisa mencapai miliaran rupiah. Uang sebesar itu bisa digunakan untuk membangun sekolah, puskesmas, atau infrastruktur lain yang dibutuhkan rakyat.

Ironi ini mengingatkan kita bahwa tindakan destruktif justru kontraproduktif dengan tujuan perjuangan.

Perlu diakui bahwa tidak semua pelaku perusakan adalah demonstran sejati. Banyak indikasi menunjukkan adanya infiltrasi provokator yang sengaja memanfaatkan situasi untuk menciptakan kekacauan.

Pengalaman dari berbagai demonstrasi sebelumnya menunjukkan pola yang sama: aksi damai berubah menjadi anarkis setelah masuknya elemen-elemen yang tidak bertanggung jawab.

Namun, ini bukan alasan untuk berdiam diri. Setiap warga yang berkomitmen pada perubahan positif memiliki tanggung jawab untuk menjaga agar perjuangan tidak ternoda oleh tindakan destruktif.

Sikap acuh tak acuh terhadap penjarahan dan perusakan sama dengan memberikan legitimasi pada tindakan tersebut.

Indonesia memiliki cita-cita besar: menjadi negara maju pada tahun 2045. Visi Indonesia Emas bukan sekadar slogan, melainkan komitmen kolektif bangsa untuk membangun peradaban yang lebih baik.

Bagaimana mungkin cita-cita mulia ini tercapai jika mental yang berkembang adalah mental perusak dan penjarah?

Generasi muda yang menjadi tulang punggung perubahan harus memahami bahwa membangun peradaban membutuhkan kesabaran, konsistensi, dan integritas.

Setiap fasilitas umum yang dirusak hari ini adalah warisan yang dirampas dari generasi mendatang. Setiap tindakan destruktif adalah langkah mundur dalam perjalanan menuju Indonesia Emas.

Sejarah membuktikan bahwa perubahan sosial yang berkelanjutan tidak pernah lahir dari kehancuran, melainkan dari kekuatan moral dan konsistensi perjuangan.

Mahatma Gandhi membebaskan India bukan dengan kekerasan, melainkan dengan satyagraha—perlawanan tanpa kekerasan. Nelson Mandela mengakhiri apartheid bukan dengan balas dendam, melainkan dengan rekonsiliasi.

Demonstrasi yang bermartabat adalah demonstrasi yang mampu menyuarakan aspirasi tanpa menghancurkan apa yang sudah dibangun bersama. Kekuatan moral dari perjuangan justru terletak pada kemampuan untuk tetap beradab di tengah ketidakadilan yang dirasakan.

Momentum ini seharusnya menjadi ajang introspeksi kolektif.

Setiap warga negara, tanpa terkecuali, perlu bertanya pada diri sendiri: “Apa kontribusi saya untuk Indonesia yang lebih baik?” Apakah dengan ikut serta dalam penjarahan? Apakah dengan merusak fasilitas yang dibangun dari pajak kita sendiri? Ataukah dengan menjaga martabat perjuangan dan fokus pada tujuan yang konstruktif?

Kritik terhadap pemerintah dan DPR adalah hak konstitusional yang harus dijaga. Namun, cara menyampaikan kritik itulah yang menentukan kualitas demokrasi kita.

Demokrasi yang matang bukan demokrasi yang anarkis, melainkan demokrasi yang mampu menyalurkan aspirasi secara beradab dan konstruktif.

Fasilitas umum adalah milik bersama yang dibangun dari kontribusi seluruh warga negara. Halte bus, jalan raya, gedung-gedung pemerintah, dan infrastruktur lainnya adalah wujud nyata dari kerja keras kolektif bangsa.

Ketika fasilitas ini dirusak, yang rugi bukan hanya pemerintah, melainkan semua warga yang membutuhkan pelayanan tersebut.

Lebih dari itu, fasilitas umum yang terawat adalah cerminan peradaban suatu bangsa.

Negara-negara maju memiliki ciri khas berupa infrastruktur publik yang terjaga dengan baik karena warganya memiliki kesadaran untuk merawat milik bersama.

Jika Indonesia ingin menjadi negara maju, mentalitas merawat fasilitas umum harus tertanam kuat dalam DNA bangsa.

Saatnya melahirkan gerakan baru: gerakan demonstrasi bersih yang mampu menyuarakan aspirasi tanpa meninggalkan jejak kehancuran.

Gerakan yang menunjukkan bahwa rakyat Indonesia mampu berjuang dengan bermartabat, cerdas, dan konstruktif.

Setiap elemen masyarakat—mahasiswa, pekerja, akademisi, tokoh agama, seniman—memiliki peran dalam menjaga agar perjuangan tetap dalam koridor yang beradab.

Media sosial yang begitu berpengaruh harus digunakan untuk menyebarkan pesan-pesan positif, bukan provokasi yang mengarah pada kehancuran.

Tragedi yang menimpa Affan Kurniawan menjadi pengingat bahwa dalam setiap perjuangan, ada nyawa manusia yang menjadi taruhannya.

Darahnya tidak boleh sia-sia dengan terseret dalam tindakan-tindakan yang justru menodai makna perjuangannya.

Menghormati korban berarti melanjutkan perjuangan dengan cara yang bermartabat.

Kepercayaan publik terhadap institusi memang sedang mengalami krisis.

Namun, kepercayaan tidak akan pulih dengan kehancuran, melainkan dengan membangun alternatif yang lebih baik.

Generasi muda yang kecewa dengan kondisi saat ini harus menunjukkan bahwa mereka mampu menjadi bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah.

Indonesia berada di persimpangan sejarah. Di satu sisi, semangat perubahan yang menggelora menunjukkan vitalitas demokrasi.

Di sisi lain, tindakan-tindakan destruktif mengancam akan menghancurkan fondasi yang sudah dibangun dengan susah payah.

Pilihan ada di tangan setiap warga negara: apakah akan menjadi bagian dari mereka yang membangun atau mereka yang menghancurkan? Apakah akan memilih jalan kekerasan yang destruktif atau jalan perjuangan yang bermartabat?

Sejarah akan mencatat: generasi inilah yang menentukan arah Indonesia ke depan.

Jangan sampai dicatat bahwa di saat bangsa membutuhkan pemimpin masa depan, yang muncul justru generasi yang bermental penjarah dan perusak.

Indonesia Emas 2045 hanya akan terwujud jika dibangun oleh tangan-tangan yang bersih, hati yang tulus, dan semangat yang konstruktif. Bukan oleh mereka yang sibuk menghancurkan apa yang sudah dibangun.

Mari memilih untuk menjadi bagian dari solusi. Mari menjaga agar aspirasi tetap murni dan perjuangan tetap bermartabat. Karena Indonesia yang kita cintai layak mendapatkan yang terbaik dari anak-anak bangsa.

Indonesia yang kita bangun hari ini adalah Indonesia yang akan diwariskan kepada generasi mendatang. Jangan biarkan warisan itu berupa puing-puing kehancuran, melainkan fondasi peradaban yang kokoh.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *