
Nasional – Kebijakan pemberian tunjangan rumah bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebesar Rp 50 juta per bulan kembali menjadi sorotan.
Angka fantastis itu dianggap tidak sejalan dengan kondisi ekonomi masyarakat yang sedang sulit.
Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menjelaskan bahwa tunjangan tersebut berlaku mulai Oktober 2024 hingga Oktober 2025, dengan total Rp 600 juta per anggota selama setahun.
Dana itu, menurutnya, akan dipakai untuk biaya kontrak rumah anggota DPR selama masa jabatan lima tahun, periode 2024–2029.
“Uang tersebut dipakai untuk kontrak rumah selama masa jabatan lima tahun, yaitu 2024 sampai 2029,” ujar Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (26/08/2025).
Dengan jumlah anggota DPR mencapai 580 orang, jika dikalikan Rp 600 juta per tahun, maka negara harus mengalokasikan sekitar Rp 348 miliar hanya untuk pos tunjangan rumah.
Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, menyatakan besaran tunjangan rumah ditentukan langsung oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu), bukan DPR.
“Satuan harga itu ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Kami di DPR hanya menerima,” ucapnya, Jumat (22/08/2025).
Ia menambahkan, tunjangan ini diberikan karena anggota DPR periode 2024–2029 tidak lagi mendapatkan fasilitas rumah dinas yang sebelumnya dikelola Setneg.
Putri Presiden ke-4 RI, Yenny Wahid, menilai kebijakan itu berlebihan dan tidak berpihak pada rakyat.
“Rp 3 juta sehari untuk rumah, itu seperti kos-kosan mewah. Kalau bisa nyewain segitu, saya juga mau jadi pengusaha kos-kosan,” ujarnya di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (22/08/2025).
Yenny meminta pejabat publik lebih menahan diri dalam menggunakan anggaran negara, mengingat rakyat sedang menghadapi tekanan ekonomi.
Ia menekankan, fasilitas perumahan DPR sebaiknya diperbaiki dan dimanfaatkan kembali, bukan justru menambah beban APBN dengan angka besar.
Direktur Indonesia Political Review, Iwan Setiawan, menilai pemberian tunjangan jumbo DPR melukai hati rakyat.
“Mestinya Menteri Keuangan mencontoh semangat penghematan yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto. Kebijakan seperti ini justru berpotensi memicu keresahan publik,” ucapnya.
Presiden KSPI, Said Iqbal, juga menyebut kebijakan tersebut sebagai wujud nyata ketidakadilan sosial. Ia menyoroti kontrasnya pendapatan wakil rakyat dengan buruh.
“Anggota DPR bisa dapat lebih dari Rp 100 juta per bulan, sementara buruh di Jakarta upah minimumnya hanya Rp 5 juta per bulan atau sekitar Rp 150 ribu per hari. Perbandingan ini jelas timpang,” katanya, Kamis (21/08/2025).
Menurut Said, kondisi ini memperlihatkan jurang ketidakadilan yang semakin lebar, ketika buruh terus memperjuangkan kenaikan upah, sementara wakil rakyat menikmati fasilitas dan tunjangan besar dari anggaran negara.