Pendidikan – Pendidikan sering kali disebut sebagai fondasi kemajuan bangsa.

Namun, di balik berbagai kebijakan yang silih berganti, masih ada satu titik lemah yang jarang disentuh: sistem ujian sebagai alat ukur keberhasilan belajar.

Dalam video Youtubenya, Cania Citta dari Malaka Founders menilai bahwa akar persoalan pendidikan di Indonesia tidak berhenti pada isu gaji guru atau fasilitas sekolah, melainkan pada sistem ujian yang keliru arah.

Kita sering mendengar keluhan soal rendahnya gaji guru, fasilitas sekolah yang tidak layak, hingga akses sulit bagi siswa di daerah terpencil.

Banyak yang menganggap hal-hal inilah inti persoalan pendidikan.

Cania mengakui pentingnya isu tersebut, namun menegaskan bahwa ada hal yang lebih fundamental.

“Gue perlu tekankan bahwa gue setuju, hal-hal itu adalah masalah yang penting untuk di-address… Tapi di sini gue mau ngomong pada tataran framework kebijakan. Gue memandang hal-hal tadi bukan titik pertama yang harusnya kita sasar.”

Masalah gaji guru memang harus segera diselesaikan karena berkaitan dengan kesejahteraan dan keadilan sosial.

Tetapi pembenahan sistem ujian adalah fondasi yang akan menentukan arah seluruh sistem pendidikan.

Bagi Cania, ujian memiliki posisi krusial seperti quality control dalam industri obat.

Jika alat QC hanya memeriksa rasa dan warna obat, bukan efektivitasnya menyembuhkan, maka hasilnya akan menyesatkan. Hal yang sama berlaku di dunia pendidikan.

“Ujian itu ibaratnya kayak alat QC. Semua hasil dari proses penyelenggaraan pendidikan diuji lewat ujian atau asesmen. Kalau alat QC-nya salah, maka seluruh hasilnya juga akan salah.”

Ujian menentukan arah pembelajaran, kinerja guru, hingga insentif kebijakan.

Jika tolok ukur keliru, maka sistem akan terus menghasilkan lulusan yang tidak kompeten meski nilainya tampak baik di atas kertas.

Salah satu contoh nyata yang dikritik Cania adalah Tes Literasi Bahasa Indonesia (LBI) dalam seleksi universitas.

Secara nama, tes ini seharusnya mengukur kemampuan memahami bacaan dan bernalar.

Namun pada praktiknya, justru banyak soal yang menguji pengetahuan sains seperti kimia atau biologi.

“Dari namanya, Literasi Bahasa Indonesia, yang terbesit di kepala gue adalah soal comprehension. Tapi yang ada di soalnya malah menguji pengetahuan sains. Ini bukan tes literasi, ini tes kimia.”

Kekeliruan ini menciptakan ketidakadilan. Siswa dengan kemampuan literasi tinggi tapi latar belakang non-sains akan kesulitan menjawab, sedangkan siswa yang kebetulan hafal unsur kimia justru mendapat nilai lebih baik. Padahal kompetensi yang diukur seharusnya berbeda.

Soal yang tidak sesuai konteks bukan hanya membingungkan murid, tetapi juga membebani guru.

Guru bahasa Indonesia dituntut menguasai materi di luar bidangnya agar murid mampu menghadapi soal yang tidak jelas batasannya.

“Uji kompetensi itu harus jelas scope kompetensi yang diujinya apa. Membuat alat ukur yang ambigu dan penamaan yang tidak sesuai jelas harus dikoreksi.”

Situasi ini memperlihatkan betapa sistem ujian yang buruk dapat menulari seluruh rantai pendidikan, dari kurikulum hingga kebijakan rekrutmen.

Reformasi pendidikan tidak akan berhasil tanpa membenahi cara negara mengukur hasil belajar.

Pemerintah harus memastikan setiap ujian benar-benar menguji kemampuan yang relevan, bukan sekadar menumpuk pengetahuan acak.

“Jangan sampai kita menghancurkan masa depan banyak anak Indonesia dengan literasi yang baik karena tes literasi kita justru tidak berliterasi.”

Ujian yang adil dan terukur bukan sekadar prosedur teknis, melainkan bentuk penghormatan terhadap proses belajar itu sendiri.

Hanya dengan alat ukur yang benar, pendidikan Indonesia bisa kembali ke jalur yang semestinya.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *