Makassar – Pernyataan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Hendri Tobing, SH. MH. yang menyebutkan Wali Kota Makassar, Mohammad Ramdhan Pomanto menyurat agar dilakukan penundaan eksekusi atas objek sengketa di jalan Daeng Tompo No.25 (baru 27), disesalkan Tresje Ticoalu.
Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) sejak beberapa tahun lalu, bersama Komnas Perempua melalui imbauannya telah meminta agar semua pihak menghormati putusan hukum, namun Wali Kota Makassar, tetap menjadi alasan penundaan sampai 2 kali sejak 2022 sampai 2024. “Kami berharap pak Wali sadar hukum, jangan bertindak sewenang-wenang, ” ujar Tresje Ticoalu, pemohon eksekusi yang sejak 2005 memperjuangkan warisan mereka yang dulunya dipinjam pakai oleh pemerintah kota.
“Warisan kami itu sudah Sertifikat Hak Milik (SHM) dan telah mendapatkan putusan hukum tetap Mahkamah Agung (MA), 12 putusan sidang kami menangkan,” ujar Tresje, sembari mempertanyakan apa kepentingan wali kota, pada warisan keluarga mereka.
Penyesalan Elsye Ticoalu adik Tresje Ticoalu, dikarenakan selama proses pemohon eksekusi atas rumah warisan orangtua mereka, pihak PN sedikitpun tidak memperlihatkan indikasi akan inkonsisten pada surat perintah eksekusi yang mereka sendiri terbitkan.
Eksekusi pertama 12 Desember 2022, nomor surat: W22.U.1/6947/HK.02/12/2022. dan yang kedua pada Kamis 18 Juli 2024, nomor surat 3012/PAN.PN/W22.U1/HK.2.4/VI/2024, ditandatangani An. Ketua Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Panitera Sekretaris (Pansek), Sapta Putra, SH.
Rapat yang memutuskan kembali menunda eksekusi, dipimpin Hendri Tobing, SH. MH. Ketua PN Makassar, sebelumnya menjabat Wakil Ketua PN Makassar, pada saat penundaan eksekusi pertama Desember 2022, dengan alasan masih perlu dipelajari.
Rapat yang dihadiri Sapta Putra, SH. Selaku Pansek, Ruslan, SH. (Juru Sita), Arfan Halim Banna, SH. dan Marleny The Charlie (wakil keluarga Tresje Ticoalu). “Saya sangat menyayangkan penundaan berulang, hanya dengan alasan adanya surat dari Wali Kota Makassar,” ujar Marleny, sembari mempertanyakan apakah kewenangan Wali Kota Makassar, Mohammad Ramdhan Pomanto lebih besar dari pengadilan.
Terpisah, Tresje mengatakan “Kami telah menerima putusan berkekuatan hukum tetap dari Mahkamah Agung,” ujarnya. Sembari menyebutkan putusan perkara nomor:22/G.TUN/2005/P.TUN Mks Jo. Nomor:04/B.TUN/2006/PT. TUN Mks Jo. Nomor: 459 K/TUN/2006. Disusul putusan perkara nomor: 232/Pdt.G/2013/PN.Mks. Jo. Nomor:273/PDT/2014/PT. Mks. Jo. Nomor: 3549 K/PDT/2015 Jo. Nomor: 973/PK/Pdt./2020.
Sejak April 2005, upaya hukum sudah mereka jalani, dan 12 putusan persidangan mereka menangkan. “Jadi kami sangat heran atas penundaan ini, ada apa?,” ujarnya, mempertanyakan sikap PN Makassar, juga protes pada kelancangan wali kota, yang terkesan mengitervensi proses hukum.
Adapun Elsye menegaskan “Bantahan terhadap eksekusi yang akan dilaksanakan PN Makassar, telah dikeluarkan putusan yang menguatkan,” ujarnya. Melalui putusan perkara nomor: 232/Pdt.G/2013/PN.Mks. Jo. Nomor:273/PDT/2014/PT. Mks. Jo serta Nomor: 3549 K/PDT/2015 Jo. Nomor: 973/PK/Pdt./2020, yakni; Putusan perkara nomor 495/Pdt-Bth/2022/P.N. Mk j.o. 68/Pdt/PT.Makassar/2023, dan Putusan perkara nomor: 500/Pdt-Bth/2022/P.N. Mk j.o. 39/Pdt/PT. Makassar/2024.