Nasional – Praktik manipulasi sistematis dalam tata kelola minyak mentah Pertamina selama lima tahun terakhir telah mengakibatkan kerugian negara yang fantastis mendekati Rp 1.000 triliun.

Angka mengejutkan ini terungkap setelah Kejaksaan Agung Republik Indonesia membongkar skema korupsi yang melibatkan sejumlah petinggi Pertamina dan beberapa pihak swasta.

Menurut Jaksa Agung ST Burhanuddin, kerugian negara dalam kasus ini mencapai sekitar Rp 193,7 triliun per tahun, yang jika dihitung selama periode 2018 hingga 2023, totalnya mencapai Rp 968,5 triliun.

“Bila dihitung kasar dengan perkiraan kerugian negara setiap tahun sebesar Rp 193,7 triliun, maka total kerugian selama 2018-2023 mencapai hampir satu kuadriliun rupiah,” ungkap Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, seperti dikutip dari Medantribun.

Investigasi Kejagung mengungkap bahwa para tersangka mengimpor minyak mentah dengan spesifikasi RON 90 (setara Pertalite) tetapi melaporkannya sebagai RON 92 (Pertamax).

Minyak tersebut kemudian dioplos untuk dijual sebagai Pertamax meskipun kualitasnya setara dengan Pertalite.

“Tersangka Maya Kusmaya memerintahkan dan memberikan persetujuan kepada Edward Corne untuk melakukan blending produk kilang pada jenis RON 88 (Premium) dengan RON 92 agar dapat menghasilkan RON 92,” jelas Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar.

Para pelaku diduga mendapatkan fee mencapai 13-15 persen dari transaksi ini, yang kemudian ditanggung oleh negara.

Hal ini menyebabkan kenaikan harga BBM dan memaksa pemerintah memberikan subsidi yang jauh lebih besar dari yang seharusnya.

Kasus ini terbongkar berawal dari keluhan masyarakat di beberapa daerah, termasuk Papua dan Palembang, mengenai kualitas BBM jenis Pertamax yang dianggap buruk.

Keluhan tersebut berbanding lurus dengan temuan terkait kenaikan harga Pertamax dan besarnya subsidi pemerintah yang tidak seharusnya dibebankan.

Pertamina melalui Vice President Corporate Communication, Fadjar Djoko Santoso, telah membantah tudingan bahwa Pertamax yang beredar di pasaran dioplos dengan Pertalite.

Menurutnya, produk yang dijual ke masyarakat telah sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan oleh Dirjen Migas.

“Produk yang sampai ke masyarakat sesuai dengan spesifikasinya masing-masing. RON 92 adalah Pertamax, RON 90 adalah Pertalite,” jelasnya.

Hingga saat ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan sembilan orang sebagai tersangka dalam kasus mega korupsi ini. Enam di antaranya merupakan petinggi Pertamina, termasuk:

  1. Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga
  2. Sani Dinar Saifuddin, Direktur Feed stock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional
  3. Yoki Firnandi, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping
  4. Agus Purwono, Vice President Feed stock Management PT Kilang Pertamina Internasional
  5. Maya Kusmaya, Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga
  6. Edward Corne, VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga

Sementara tiga tersangka lainnya berasal dari pihak swasta, yaitu:

  1. Muhammad Keery Andrianto Riza, penerima manfaat dari PT Navigator Khatulistiwa (putra “Raja Minyak” M Riza Chalid)
  2. Dimas Werhaspati, Komisaris PT Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim
  3. Gading Ramadan Joede, Komisaris PT Jenggala Maritim dan PT Orbit Terminal Merak

Maya Kusmaya dan Edward Corne merupakan tersangka terbaru yang ditetapkan pada Rabu (26/2/2025) setelah keduanya tidak menghadiri panggilan pemeriksaan sebagai saksi.

Keduanya kini ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejagung selama 20 hari.

Di tengah skandal ini, muncul sorotan terhadap dua keponakan mantan Presiden Joko Widodo yang menduduki posisi strategis di Pertamina, yaitu Bagaskara Ikhlasulla Arif selaku Manager Non-Government Relations di PT Pertamina (Persero) dan Joko Priyambodo sebagai Direktur Pemasaran dan Operasi PT Patra Logistik.

Pegiat media sosial, John Sitorus, dalam akun X-nya menyoroti kecepatan karier keduanya.

“Joko Priyambodo baru gabung 7 tahun tapi sudah direktur, sementara Baskara Ikhlasulla Arif baru gabung 2021, hanya butuh 3 tahun untuk mencapai posisi Manager di Pertamina,” tulisnya.

Dengan kerugian mencapai hampir Rp 1.000 triliun, kasus korupsi Pertamina Patra Niaga ini menempati posisi teratas dalam daftar kasus korupsi terbesar di Indonesia, mengalahkan kasus-kasus besar sebelumnya seperti korupsi PT Timah (Rp 300 triliun), skandal BLBI (Rp 138,44 triliun), dan penyerobotan lahan PT Duta Palma Grup (Rp 78 triliun).

Saat ini, Kejaksaan Agung masih berfokus untuk menghitung kerugian negara secara rinci dari tahun 2018-2023 dan menggandeng ahli untuk melakukan perhitungan yang akurat.

Hasil perhitungan tersebut akan menjadi dasar untuk menuntut para tersangka dan memulihkan kerugian negara.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *