
Ragam – Perubahan besar dalam lanskap kerja global kini bergerak semakin nyata. Amazon, salah satu perusahaan teknologi terbesar di dunia, baru saja mengumumkan rencana pengurangan tenaga kerja sebagai dampak langsung dari adopsi kecerdasan buatan (AI).
Hal ini bukan sekadar keputusan bisnis, tetapi sinyal akan pergeseran mendasar dalam struktur dunia kerja yang selama ini kita kenal.
Sabtu (28/06/2025), laporan dari DW Indonesia menyoroti bahwa bukan hanya Amazon, perusahaan-perusahaan besar lainnya seperti Microsoft, Hewlett Packard, Shopify, hingga Duolingo pun mengikuti arah yang serupa.
AI bukan lagi sekadar alat bantu, tapi sudah mengambil peran aktif menggantikan tugas-tugas manusia, terutama di sektor yang berulang dan berbasis data.
Tak bisa dipungkiri, banyak pekerjaan manusia kini berada dalam bayang-bayang otomatisasi. Dalam beberapa tahun ke depan, pekerjaan tingkat pemula disebut akan menjadi yang paling rentan.
Namun di balik ancaman, ada potensi besar: AI juga membawa janji produktivitas tinggi dan pembukaan lapangan kerja baru yang sebelumnya tak terbayangkan.
Sebuah laporan dari World Economic Forum memperkirakan bahwa hingga tahun 2030, sekitar 92 juta pekerjaan akan tergantikan, tetapi 170 juta jenis pekerjaan baru akan muncul.
Hal ini mengisyaratkan bahwa tantangan utama bukan hanya tentang kehilangan pekerjaan, melainkan tentang kesiapan manusia untuk beradaptasi dan bertransformasi.
Yang menarik, dampak AI tidak lagi terbatas pada pekerjaan kerah biru atau berkeahlian rendah. Pekerjaan kantoran, termasuk analis data, akuntan, penulis teknis, dan pengembang web kini berada dalam daftar pekerjaan berisiko tinggi.
Ini mencerminkan kenyataan bahwa AI telah menembus wilayah intelektual yang dulu dianggap aman dari otomatisasi.
Di tengah kekhawatiran itu, suara optimisme tetap bergema. Beberapa pakar menyatakan bahwa AI bukan sekadar pengganti, tapi juga mitra bagi manusia.
Enzo Weber dari Institute of Employment Research di Jerman misalnya, menyebut bahwa AI dapat membuka peluang bagi manusia untuk melakukan pekerjaan yang lebih bermakna dan produktif.
Sejumlah ekonom dari Harvard bahkan menyebutkan bahwa otomatisasi tidak secara otomatis mengurangi jumlah pekerjaan, melainkan justru mendorong pertumbuhan di sektor-sektor baru yang belum sepenuhnya tergarap.
Hal ini memberi kita harapan, selama ada strategi adaptasi yang tepat dan pelatihan yang menyeluruh.
Namun pertanyaan terbesarnya adalah: apakah masyarakat kita siap menghadapi era ini?
Seiring AI terus berkembang, dunia dituntut untuk melakukan refleksi ulang terhadap nilai-nilai dasar dunia kerja: martabat, keadilan, dan kesejahteraan.
Bukan hanya soal teknologi yang canggih, tetapi juga tentang manusia yang mampu menempatkan dirinya secara bermakna di tengah perubahan besar ini.
Peringatan pun datang bukan hanya dari para pakar, tetapi juga tokoh-tokoh moral dunia. Bahkan Paus memperingatkan bahwa teknologi tidak boleh merenggut martabat manusia.
Artinya, kita harus berhati-hati agar revolusi ini tidak hanya menguntungkan pasar, tapi juga menjaga harkat pekerja sebagai bagian dari komunitas yang beradab.
Kini saatnya kita tidak hanya menatap AI sebagai alat, tapi sebagai pemicu perubahan sosial.
Dunia kerja masa depan akan sangat bergantung pada kemampuan manusia untuk terus belajar, beradaptasi, dan berkolaborasi—bukan untuk melawan mesin, tetapi untuk tumbuh bersamanya.