Ragam – Candaan lama komika Pandji Pragiwaksono tentang prosesi pemakaman adat Toraja kini berbuntut panjang.

Potongan video lawakan tunggalnya dalam pertunjukan Mesakke Bangsaku tahun 2013 kembali viral dan memicu kemarahan masyarakat Toraja yang menilai candaan itu melecehkan nilai-nilai budaya mereka.

Dalam video tersebut, Pandji menyinggung mahalnya biaya upacara adat rambu solo’ hingga menyebut bahwa sebagian warga Toraja yang kurang mampu terpaksa menyimpan jenazah keluarga di rumah.

Ucapan itu, yang disertai gaya impersonasi khas komedi, dianggap merendahkan martabat adat Toraja dan membuka luka kolektif bagi masyarakat adat.

Reaksi keras pun datang dari berbagai pihak. Aliansi Pemuda Toraja melaporkan Pandji ke Bareskrim Polri atas dugaan pelecehan budaya.

Laporan itu teregister dengan nomor 01/LP/APT/XI/2025 pada Senin (3/11/2025), mencakup sejumlah pasal, termasuk Pasal 156 dan 157 KUHP, serta Undang-Undang ITE dan Pemajuan Kebudayaan.

“Kami menilai pernyataan Pandji bukan sekadar lelucon, tetapi bentuk penghinaan terhadap warisan leluhur Toraja,” ujar perwakilan pelapor, Ricdwan Abbas Mandaso, seperti dikutip dari Bisnis.

Tak berhenti di ranah hukum, Tongkonan Adat Sang Torayan (TAST) juga menjatuhkan sanksi adat kepada Pandji.

Ketua Umum TAST, Benyamin Rante Allo, menyebut sanksi tersebut meliputi pengorbanan 48 ekor kerbau, 48 ekor babi, serta uang tunai Rp2 miliar sebagai lambang pemulihan keseimbangan antara dunia manusia (lino tau) dan dunia arwah (lino to mate).

“Ini bukan sekadar hukuman, tetapi bentuk tanggung jawab moral dan sosial untuk memulihkan kehormatan budaya Toraja,” jelas Benyamin pada Jumat (7/11/2025).

Menurut Benyamin, angka tersebut masih bersifat simbolis dan dapat dibahas jika Pandji bersedia datang ke Toraja untuk berdialog langsung dengan para tetua adat.

Namun, jika tidak ada itikad baik, sanksi yang lebih berat menanti, termasuk ritual Ma’maman, sebuah upacara adat yang dipercaya dapat menjatuhkan kutukan bagi mereka yang menolak tanggung jawab.

Adat Toraja memandang candaan semacam ini sebagai bentuk gangguan terhadap keseimbangan dunia manusia dan roh leluhur.

“Kerbau dan babi bukan sekadar hewan kurban, tetapi simbol pengorbanan untuk mengembalikan harmoni yang terganggu,” tutur Benyamin.

Menanggapi polemik yang kian meluas, Pandji akhirnya menyampaikan permintaan maaf secara terbuka melalui akun Instagram pribadinya. Ia mengaku telah berdialog dengan Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, dan memahami kedalaman makna di balik adat Toraja.

“Saya sadar bahwa candaan saya dulu sangat ignorant. Saya meminta maaf sebesar-besarnya kepada masyarakat Toraja yang merasa tersinggung dan terluka,” tulis Pandji, Rabu (5/11/2025).

Pandji juga menyatakan siap menghadapi dua jalur penyelesaian sekaligus, baik melalui hukum negara maupun hukum adat.

Ia berharap kasus ini menjadi pelajaran bagi para komika agar lebih berhati-hati dan menghormati kearifan lokal saat membawakan materi komedi.

“Yang penting bukan berhenti membicarakan budaya, tapi bagaimana membahasnya tanpa merendahkan. Komedi harus tetap jadi ruang dialog yang beradab,” pungkasnya.

Kasus ini menjadi pengingat bahwa di Indonesia, adat bukan sekadar simbol, melainkan hukum hidup yang menuntut keseimbangan. Di Tanah Toraja, kata yang salah ucap bisa mengundang luka adat, dan hanya pengorbanan, permintaan maaf, serta niat baik yang dapat memulihkannya.

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *