
Ragam – Industri perbankan Tanah Air menghadapi tekanan serius akibat rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) yang terus meningkat.
Pada April 2025, rasio NPL bruto perbankan naik tipis menjadi 2,24 persen, dari 2,17 persen sebulan sebelumnya.
Tren ini mengindikasikan mulai terkikisnya kepercayaan bank atas kemampuan bayar debitur, serta potensi mengetatnya likuiditas sektor keuangan.
Tekanan paling parah dirasakan segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Data Bank Indonesia mencatat NPL UMKM melonjak menjadi 4,49 persen pada Mei 2025, mendekati ambang batas aman 5 persen.
Sementara itu, penyaluran kredit UMKM hanya tumbuh 2,17 persen secara tahunan, jauh di bawah laju normal sebelum pandemi. Kondisi ini memperlihatkan satu dari setiap dua puluh pinjaman UMKM berisiko gagal bayar.
Melambatnya ekspansi kredit juga tercermin dari kebijakan bank yang kian selektif.
Proses underwriting diperketat dan pencairan dana ditahan untuk meredam risiko, sinyal bahwa institusi keuangan mulai waspada terhadap ketahanan fiskal masyarakat.
Di sisi lain, fenomena “gali lubang, tutup lubang” makin meluas. Banyak rumah tangga memanfaatkan Kredit Tanpa Agunan (KTA) untuk menutup cicilan sebelumnya—sebagian besar bagiannya digunakan untuk refinancing, bukan investasi produktif.
Data informal dari pelaku industri keuangan menunjukkan peningkatan signifikan aplikasi KTA, menandakan desakan kebutuhan likuiditas oleh debitur konsumtif.
Ahli keuangan memperingatkan, tanpa intervensi kebijakan yang lebih tegas, tren NPL yang terus menanjak dapat memicu krisis kepercayaan terhadap sistem perbankan.
Pengetatan likuiditas dan melambatnya pembiayaan bisa memperdalam stagnasi ekonomi nasional, terlebih bila rantai kredit UMKM terputus dan utang konsumtif menjerat rumah tangga pada titk rawan.
Pemerintah dan regulator perlu segera merumuskan kebijakan restrukturisasi kredit serta stimulus untuk memulihkan daya beli dan kelayakan debitur guna mencegah meluasnya krisis kredit.